16 Maret 2016

Puisi, Fakta, dan Historiografi

Share

Puisi, Fakta, dan Historiografi
oleh
Teguh Trianton


Puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah
(Plato)

Jika puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah, maka boleh jadi puisi-puisi -yang termaktub dalam buku antologi- ini akan menemukan rujukan nilai kebenarannya. Nilai kebenaran yang menurut Plato lebih presisi ketimbang nilai kebenaran yang digali dari fakta sejarah.

Nanti dulu, meminjam ungkapan Plato, tulisan ini adalah upaya saya mengakrabi setiap apa yang ditulis dalam buku puisi karya sepuluh penyair yang tergabung dalam Komunitas Penyair Institut (KPI). Saya yakin, apa yang ditulis sebagai sajak atau puisi telah diniatkan sebagai sajak atau sebagai puisi oleh penyairnya. Pun, apa yang telah ditulis oleh sepuluh penyair yang memilih melakoni proses kreatifnya berbasis sastra kampus ini. Mereka adalah Muhammad Musyaffa, Irfan M. Nugroho, Sultoni Achmad, Indra KS, Ayu Estika, Hendrik Efriadi, Otih Kumala, Eri Setiawan, Hani Kurniasih, dan Aminah Bee.

Sebagai pembaca sekaligus penikmat seni berbahasa, saya memilih berdiri di luar perdebatan, di luar ketegangan, di luar riuh rendah diskusi tentang apakah puisi atau bukan puisi yang terkumpul dalam buku ini. Saya memahami puisi, secara sederhana sebagai salah satu bentuk seni berbahasa. Seni berbahasa saya artikan tentang bagaimana sesorang mampu mendayagunakan kata melalui diksi yang tepat, dan cermat untuk mengungkap kebenaran dengan jalannya yang ekspresif, estetik sehingga terdapat kelonggaran jarak, ruang dan waktu tempuh untuk memberikan makna pada yang telah ditulis.

Sesungguhnya buku kumpulan tulisan seni berbahasa ini dibuat dalam semangat membangun budaya literasi di tingkat kampus. Inilah yang pertama yang menarik saya ungkapkan sebagai catatan penutup pada buku ini. Daya hidup buku ini tidak semata terletak pada seberapa banyak orang yang memberikan applus atau tepuk tangan sebagai penghargaan. Vitalitas buku ini telah tumbuh jauh-jauh hari sebelum para penulis mengumpulkannya bersama-sama sebagai karya yang dilegitimasi dalam bentuk buku.

Inilah vitalitas yang semakin langka, yang kian asing dari kebiasaan mahasiswa yang tumbuh di tengah banjir gadget dengan segala fitur yang membuat mereka seperti kecolongan waktu untuk kreatif menulis dan membaca. Literasi, kini tidak lagi menjadi bagian dari habitus mahasiswa. Setidaknya ini dapat dilihat dari sedikitnya (kuantitas) dan masih rendahnya (kualitas) tulisan mahasiswa.

Puisi dan Historiografi
Tetapi pada apa yang disebut puisi dalam buku ini, saya menemukan bentuk dan varian produk olah rasa yang berpadu olah pikir yang dipresentasikan melalaui bahasa dengan cukup apik. Lantas, dengan sendirinya kesepuluh penulisnya adalah penyair. Mereka adalah penyair yang mengisi kegalauan dengan ritual bahasa. Pada saat yang lain, mereka tampak tengah mengisi ruang kosong atau waktu yang tersisa di antara kesuntukan mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Puisi merupakan seni berbahasa, yaitu bagaimana seseorang membahas dan membahasakan kebenaran yang referensial, membahas dan membahasakan gagasan (idea) untuk direpresentasikan ulang dengan tulisan dan dengan laku. Lantas, penyair adalah orang yang mengabarkan fakta, yang memiliki dan menguarkan idea untuk dimusyawarkan dengan berbagai cara.

Membaca buku ini adalah salah satu cara bermusyawarah yang paling sederhana, melakukan dialog tentang semua yang dibahas dan dibahasakan oleh penyair sebagai pencipta sekaligus pelaras bahasa. Di sinilah; puisi, penyair dan pembaca bertemu saling mengambil jarak, mendekat atau menjauh, menepi atau menengah dari ruang baca (tafsir) yang disediakan oleh bahasa.

Kita akan menemukan vitalitas dan semangat menuliskan kembali fakta atau kebenaran dan sejarah pada sajak-sajak kesepuluh penyair KPI ini. Semangat menuliskan kembali sejarah dalam puisi ini saya sebut sebagai semangat historiografi dalam puisi. Sebuah elan vital dalam kepenulisan karya sastra yang tengah menggejala saat ini. Fenomena historiografi bukanlah tradisi yang hadir tiba-tiba. Pada gurat sejarahnya, sejumlah penyair telah lebih lampau membahasakan sejarah lewat teks-teks sastra.

Mari kita simak ulang puisi-puisi karya Muhammad Musyaffa. Ia membalut kebenaran yang ia yakini dengan alegori tentang cinta, lantas menguarkannya dan membebaskan kita untuk mengaduknya dengan berbagai rasa dan fakta. Simaklah puisi Taswir di Kanvas Sokaraja;

bulan layu melamuni wajahmu/ yang menggenang di kubang sungai// kau hilang ke arah kelam/ di mana perahuperahu istirah sampai tiangnya hampir patah/ dan angin asam/ menguleni kalbu// aku membilang usia senja/ sedang kau mengulum tawa/ lalu kita bersepakat dalam/ hablur waktu yang mendidih// warna biru melaung pada/ sebidang kanvas/ angin sungai pelus bersiul memanggil jiwamu// kupunguti sisa waktu yang/ menguap di hidupmu/ seperti garis mengurat/ kening kalbu//

Yang dibahasakan oleh aku lirik adalah buah pertautan rasa dan logika yang tumbuh di antara barisan bukit fakta dan kenangan. Lalu kau publik, boleh mengadonnya dengan pengalaman, masa lampau, atau masa depan yang diangankan pada ruang makna yang luasnya dapat diciptakan sendiri melalui sistem tanda yang bertingkat. Pada sembilan puisi lainnya, aku lirik dengan capaian estetikanya mendedah masa silamnya, menjadikannya masa kini dalam puisi, dan menginisiasi masa yang akan datang dengan menyediakan spasi bagi pembaca yang boleh berebut makna, atau apa saja.

Setali tiga uang, Irfan M. Nugroho juga lena dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, yang ia bahasakan dalam bait-bait puisi yang membakar dengan api-api yang nyala dari diksi.  //di nyala mata api-// kepedihan menjadi abu/ bahkan malam turut meleleh oleh tatapannya/ menjadi cair/ seperti bersloki anggur/ yang kekal di batin kita//.

Puisi Api Pembakaran ini merupakan salah satu gambaran bagaimana aku lirik memutar balik kenangan -yang boleh jadi lahir dari rahim kenyataan- dengan referensi yang sengaja dipajang dengan dua inisial Li Po. Ia boleh apa saja, atau siapa saja. Ia juga boleh di dapat di mana saja, kapan saja, ia adalah bagaimana, dan mengapa, yang lantas menjadi sangat penting sehingga hadir sebagai bagian dari puisi.

Seperti Li Po, Irfan juga memanggil beberapa nama yang lekat dalam memorinya, lantas mengabsennya di antara larik puisi. Ada nama pelukis Dahlan, nomenklatur tempat-tempat bersejarah, seperti Banyumas Lama. Ia juga mendaftar berbagai moment dalam puisi-puisinya.

Sementara itu, Sultoni Achmad, seperti hendak menegaskan kebenaran ungkapan Plato yang saya kutip di awal tulisan. Bahwa puisi boleh jadi puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah. Ia juga begitu suntuk menderas berbagai fakta dan fenomena yang dibahas ulang dengan diksi yang ia isi dengan berbagai kemungkinan pembacaan. Ia juga menderetkan nama-nama tempat, moment, atau episode, dan sebutan-sebutan referensial lainnya.

Simaklah puisinya yang berjudul Candi, atau puisi yang berjudul Di Bukit Srandil. //Di bukit terjal bergelombang berkali aku ketemukan/ rupa gunung terbelah dua, konon belahan angka ‘5/ gelombang pasang malam purnama, kusaksikan lagi/ orang-orang berduyun menghidupi kawanan moyang/ dan mereka anggap jalan membuang kelaparan//. Larik-larik berikutnya dalam puisi ini merupakan narasi-narasi pendek tentang berbagai fenomena di antara yang nyata dan yang mitos yang masih tumbuh pada masyarakat pesisir laut kidul.

Elan vital historiografi juga tampak pada puisi-puisi karya penyair Indra KS. Melalui tajuk Pleidoi Sebuah Tarian, Indra membahasakan kembali sejarah tarian Buncis yang dulu mentradisi di wilayah pinggiran Banyumas. Penyair juga mencatat dan mencatut ritual Ujungan, sebuah upacara untuk memohon hujan, Ebeg –seni tradisional khas Banyumas yang menggambarkan semangat kepahlawanan para prajurit penunggang kuda tempo dulu.

Indra KS, mencoba mengisi puisi-puisinya dengan berbagai teks kearifan lokal yang bertebaran di sekitar tempat ia tinggal. Inilah sebuah semangat menghidupkan kultur literasi dengan kesadaran utuh tentang pentingnya menghidupkan kembali kultur dari akar tradisi. Simaklah kembali puisi bertajuk Ziarah, berikut ini. //bonokeling/ bulan putih selangkah lagi terbit/ sinari loronglorong kering pada jiwa/ yang pernah tegakkan syahadat// ritual unggahan memecah sunyi/ dengan beribu butir doa bersama harum seujud bunga/ pada peristirahatan keramat/ yang tumbuhkan biji surga pada tanah serayu//.

Bonokeling adalah seorang ulama, penyebar agama Islam yang pernah hidup di Desa Pekuncen, Jatilawang, Banyumas. Namanya tercatat dalam memori tentang sejarah Banyumas lama. Makamnya kerap menjadi sasaran kunjung para peziarah. Melalui puisi di atas, penyair hendak merekonstruksi tradisi ziarah sebagai bentuk penghormatan pada yang dinggap luhur. Puisi Ziarah ini, sebuah potret sosial religi masyarakat Banyumas udik, sekaligus narasi pendek tentang sejarah.

Romansa Sebuah Rumah
Kesadaran tentang perlunya menulis ulang peristiwa yang telah lampau juga tampak pada estetika perpuisian Ayu Estika. Pada sepuluh puisi yang Ayu tulis, tercermin bagaimana semangat menuliskan masa lalu sebagai sejarah yang penuh romantika yang terus menyengat ingatan.

Ayu memilih menulis romansa, kisah yang mungkin mengharu biru sehingga lekat di ingatan. Ayu memilih mengisi puisinya dengan kisah-kisah merah jambu, dengan warna pelangi dan dengan nama apa saja yang menjadi referensi dari semua yang ia sembunyikan lewat ketaklangsungan ekpresi.

Peristiwa-peristiwa kecil yang menjadi bagian dari hidup Ayu, dibahasakan ulang lewat diksi yang cenderung genit. Ia mencatat dan menera ulang tentang Perempuan dan Peron Keberangkatan, yang menyisakan rindu saat aku lirik menunggu di sebuah Gubug Yang Terasing, dengan Secangkir Harap ia begitu setia menunggu seperti Perempuan di Sudut Stasiun. Guratan peristiwa yang tertulis pada memori adalah ingatan yang menjadi energi yang dapat diolah menjadi apa saja. Aku lirik mencoba mengingat tentang sebuah Musim Percintaan, Sebuah Lautan, bahkan ia membahasakan ulang peristiwa Di Tepi Rawa Selepas Hujan yang menyisakan Gerimis.

Seperti halnya Ayu Estika, empat penyair berikut ini juga menulis sajak dengan pretensi soal peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Hendrik Efriadi, Otih Kumala, Eri Setiawan, dan Hani Kurniasih, keempatnya berkubang dengan pilihan-pilihan kata yang membuat mereka sibuk mendandani wajah puisi. Tetapi semangat yang muncul, setali tiga uang dengan semangat penyair lainnya; menulis ulang kisah, membahasakan lagi peristiwa yang begitu kuat menancap dalam ingatan.

Hendrik misalnya. Ia begitu terpukau dengan sebuah Pertemuan; di Muara Serayu, ia juga mencatat tentang Waktu, tentang sebuah peristiwa Usai Kepulangan. Penyair yang satu ini agaknya memiliki ingatan yang kuat tentang nama tempat, peristiwa dan waktu. Coba kita simak lagi beberapa judul sajak-sajaknya; Sekar Gadung yang dipersembahkan utuk Hadiparno, Mangsa Ketiga,  pada waktu Malam di sebuah Pekuburan Cina, ia menulis Tentang Sebuah Sejarah.

Sementara itu Otih Nurhayati juga memilih membahas soal ingatan, soal peristiwa yang dicatat ulang, soal kisah yang dituturkan sebagai Memoar Matahari. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema memoar diberi makna kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang penuh impresi. Artinya, apa yang ditulis dalam sajak-sajaknya sebagai memoar adalah semua tentang peristiwa yang boleh jadi telah menjadi kisah.

Elan sajak-sajak yang ditulis Otih dapat kita lihat lagi pada memoar tentang perkara kecil seperti; Batik, Mawar, Jam Dinding, dan Es Krim yang secara pribadi Aku Nikmati Sendiri. Diksi dan metafora yang dipilih Otih memang sangat sederhana. Tampaknya Otih tidak terlalu mempersoalkan bagaimana ia mendayagunakan bahasa untuk berkenes ria, bersolek membuat sajak menor. Otih lebih tertarik pada bagaimana ia membahas peritiwa kecil dengan bahasa yang juga ringan.

Ini pula yang tampak pada catatan Eri Setiawan, dan Hani Kurniasih. Kedua penyair ini tidak begitu hirau dengan kerumitan metafora dan diksi. Keduanya lebih memilih bercerita tentang apa saja yang lekat diingatan. Eri menulis tentang Sendra Tari; Ramayana yang mungkin ia tonton bersama kekasihnya. Ia juga membahasakan sebuah momentum Di Antara Pinus-Pinus Kecil di Petanahan. Ingatannya tenang Sentir atau lentera dari minyak, membuat ia merasa penting memungut kisah di Gubug Hitam.

Eri tak mau pusing memikirkan metafora. Ia begitu semangat menuliskan segala Fragmen Cinta menjadi Sajak Daun Kering, yang ia gurat di atas Kertas. Barangkali ia menghendaki apa yang ia tulis sebagai puisi adalah isyarat (Puisi Isyarat) yang memuat Pesan Hujan.

Lantas Hani Kurniasih, mengisi sajak-sajaknya dengan peristiwa-peristiwa satir yang baginya adalah sebuah parodi. Ia memilih Parodi Anak Kampung sebagai tajuk yang mewakili sepuluh sajaknya. Kedekatannya dengan sahabat membuat ia menempatkan seseorang pada posisi yang spesial; pada sebuah sajak tentang Nyanyian Panjang. Lantas, ia juga membahasakan ulang beberapa Kenangan tentang Hujan, Benang Kehidupan yang membuat aku lirik hendak merintis Membuka Jalan Bulan. Barangkali lantaran ia jengah dengan Diskusi Kota Mati, sementara Matahari baginya masih menjadi Cermin yang memantulkan Ceruk Cinta.

Ingatan tentang sesorang, peristiwa, tempat, keadaan dan sebagainya adalah idea. Ia dapat menjadi sumber inspirasi sebuah puisi. Inilah yang dilakoni Aminah Bee yang begitu terpukau pada seorang Lelaki Bermata Gerimis. Aminah Bee sesunggunnya juga melakukan repitisi dari penyair-penyair lain yang juga begitu mengagumi suasana. Lihat lagi sajak Kekasih Laut yang menarasikan kisah hidup nelayan di Pantai Ayah, atau ungkapan rasa Syukur; penantian petani yang terus menebar doa agar hasil panennya melimpah.

Aminah Bee adalah satu-satunya penyair yang bergiat di KPI yang bukan berasal dari Prodi PBSI. Aminah adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi, itulah sebabnya diksi dan metafora yang ia gunakan dalam sajak-sajak yang ia tulis begitu dekat dengan wacana ruang dan waktu. Aminah memunguti kata yang berserak lalu menyusunya menjadi sajak. Ia banyak mengungkap peristiwa alam sebagai metafora untuk menguarkan kisah. Simaklah lagi Sajak di Daun Gugur, dan Dedikasi Hujan. Dua sajak ini membahasakan soal perisitwa dan suasana yang membuat aku lirik tak dapat melupakannya.

Tetapi, tak ada maksud membatasi spasi waktu dan ruang pembacaan pada seratus sajak karya sepuluh penyair dari KPI. Apa yang telah saya tulis adalah hanya salah satu bentuk pembacaan, bentuk tafsir atas seni berbahasa atau penikmatan atas nyanyian. Seperti kata Aminah Bee; //Bernyanyilah dalam tarian ilalang/ atau duduk saja nikmati malam/ Mungkin angin akan membawa rindumu yang telah menumpuk/ lapuk// Bernyanyilah dalam selimut malam/ yang menutupi rindumu atau/ pergilah mengembara berburu kata-kata/ pada batu yang membisu// sebab malam adalah bahasa perenungan dan lautan makna/ (Bahasa Malam).

Esai ini merupakan catatan penutup Antologi Puisi Historiografi Komunitas Penyair Institut, Prodi PBSI FKIP UMP 2013.

Teguh Trianton, Pembaca Sastra, Bergiat di Beranda Budaya.

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.