Puisi, Fakta, dan Historiografi
oleh
Teguh Trianton
Puisi lebih mendekati kebenaran
ketimbang sejarah
(Plato)
Jika puisi lebih
mendekati kebenaran ketimbang sejarah, maka boleh jadi puisi-puisi -yang
termaktub dalam buku antologi- ini akan menemukan rujukan nilai kebenarannya.
Nilai kebenaran yang menurut Plato lebih presisi ketimbang nilai kebenaran yang
digali dari fakta sejarah.
Nanti dulu,
meminjam ungkapan Plato, tulisan ini adalah upaya saya mengakrabi setiap apa
yang ditulis dalam buku puisi karya sepuluh penyair yang tergabung dalam
Komunitas Penyair Institut (KPI). Saya yakin, apa yang ditulis sebagai sajak
atau puisi telah diniatkan sebagai sajak atau sebagai puisi oleh penyairnya.
Pun, apa yang telah ditulis oleh sepuluh penyair yang memilih melakoni proses
kreatifnya berbasis sastra kampus ini. Mereka adalah Muhammad Musyaffa, Irfan
M. Nugroho, Sultoni Achmad, Indra KS, Ayu Estika, Hendrik Efriadi, Otih Kumala,
Eri Setiawan, Hani Kurniasih, dan Aminah Bee.
Sebagai pembaca
sekaligus penikmat seni berbahasa, saya memilih berdiri di luar perdebatan, di
luar ketegangan, di luar riuh rendah diskusi tentang apakah puisi atau bukan
puisi yang terkumpul dalam buku ini. Saya memahami puisi, secara sederhana
sebagai salah satu bentuk seni berbahasa. Seni berbahasa saya artikan tentang
bagaimana sesorang mampu mendayagunakan kata melalui diksi yang tepat, dan
cermat untuk mengungkap kebenaran dengan jalannya yang ekspresif, estetik
sehingga terdapat kelonggaran jarak, ruang dan waktu tempuh untuk memberikan
makna pada yang telah ditulis.
Sesungguhnya buku
kumpulan tulisan seni berbahasa ini dibuat dalam semangat membangun budaya
literasi di tingkat kampus. Inilah yang pertama yang menarik saya ungkapkan
sebagai catatan penutup pada buku ini. Daya hidup buku ini tidak semata
terletak pada seberapa banyak orang yang memberikan applus atau tepuk tangan sebagai penghargaan. Vitalitas buku ini
telah tumbuh jauh-jauh hari sebelum para penulis mengumpulkannya bersama-sama sebagai
karya yang dilegitimasi dalam bentuk buku.
Inilah vitalitas
yang semakin langka, yang kian asing dari kebiasaan mahasiswa yang tumbuh di
tengah banjir gadget dengan segala fitur yang membuat mereka
seperti kecolongan waktu untuk kreatif menulis dan membaca. Literasi, kini
tidak lagi menjadi bagian dari habitus mahasiswa. Setidaknya ini dapat dilihat
dari sedikitnya (kuantitas) dan masih rendahnya (kualitas) tulisan mahasiswa.
Puisi
dan Historiografi
Tetapi pada apa
yang disebut puisi dalam buku ini, saya menemukan bentuk dan varian produk olah
rasa yang berpadu olah pikir yang dipresentasikan melalaui bahasa dengan cukup
apik. Lantas, dengan sendirinya kesepuluh penulisnya adalah penyair. Mereka
adalah penyair yang mengisi kegalauan dengan ritual bahasa. Pada saat yang
lain, mereka tampak tengah mengisi ruang kosong atau waktu yang tersisa di
antara kesuntukan mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Puisi merupakan seni
berbahasa, yaitu bagaimana seseorang membahas dan membahasakan kebenaran yang
referensial, membahas dan membahasakan gagasan (idea) untuk direpresentasikan
ulang dengan tulisan dan dengan laku. Lantas, penyair adalah orang yang mengabarkan
fakta, yang memiliki dan menguarkan idea untuk dimusyawarkan dengan berbagai
cara.
Membaca buku ini
adalah salah satu cara bermusyawarah yang paling sederhana, melakukan dialog
tentang semua yang dibahas dan dibahasakan oleh penyair sebagai pencipta
sekaligus pelaras bahasa. Di sinilah; puisi, penyair dan pembaca bertemu saling
mengambil jarak, mendekat atau menjauh, menepi atau menengah dari ruang baca
(tafsir) yang disediakan oleh bahasa.
Kita akan
menemukan vitalitas dan semangat menuliskan kembali fakta atau kebenaran dan
sejarah pada sajak-sajak kesepuluh penyair KPI ini. Semangat menuliskan kembali
sejarah dalam puisi ini saya sebut sebagai semangat historiografi dalam puisi.
Sebuah elan vital dalam kepenulisan karya sastra yang tengah menggejala saat
ini. Fenomena historiografi bukanlah tradisi yang hadir tiba-tiba. Pada gurat
sejarahnya, sejumlah penyair telah lebih lampau membahasakan sejarah lewat
teks-teks sastra.
Mari kita simak
ulang puisi-puisi karya Muhammad Musyaffa. Ia membalut kebenaran yang ia yakini
dengan alegori tentang cinta, lantas menguarkannya dan membebaskan kita untuk
mengaduknya dengan berbagai rasa dan fakta. Simaklah puisi Taswir di Kanvas Sokaraja;
bulan layu melamuni wajahmu/
yang menggenang di kubang sungai// kau hilang ke arah kelam/ di mana
perahuperahu istirah sampai tiangnya hampir patah/ dan angin asam/ menguleni kalbu// aku membilang usia
senja/ sedang kau mengulum tawa/ lalu kita bersepakat dalam/ hablur waktu yang
mendidih// warna biru melaung pada/ sebidang kanvas/ angin sungai pelus bersiul
memanggil jiwamu// kupunguti sisa waktu yang/ menguap di hidupmu/ seperti garis
mengurat/ kening kalbu//
Yang dibahasakan
oleh aku lirik adalah buah pertautan rasa dan logika yang tumbuh di antara
barisan bukit fakta dan kenangan. Lalu kau publik, boleh mengadonnya dengan
pengalaman, masa lampau, atau masa depan yang diangankan pada ruang makna yang
luasnya dapat diciptakan sendiri melalui sistem tanda yang bertingkat. Pada
sembilan puisi lainnya, aku lirik dengan capaian estetikanya mendedah masa
silamnya, menjadikannya masa kini dalam puisi, dan menginisiasi masa yang akan
datang dengan menyediakan spasi bagi pembaca yang boleh berebut makna, atau apa
saja.
Setali tiga uang,
Irfan M. Nugroho juga lena dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, yang ia
bahasakan dalam bait-bait puisi yang membakar dengan api-api yang nyala dari
diksi. //di nyala mata api-// kepedihan
menjadi abu/ bahkan malam turut
meleleh oleh tatapannya/ menjadi cair/
seperti bersloki anggur/ yang kekal di batin kita//.
Puisi Api Pembakaran ini merupakan salah satu
gambaran bagaimana aku lirik memutar balik kenangan -yang boleh jadi lahir dari
rahim kenyataan- dengan referensi yang sengaja dipajang dengan dua inisial Li Po. Ia boleh apa saja, atau siapa
saja. Ia juga boleh di dapat di mana saja, kapan saja, ia adalah bagaimana, dan
mengapa, yang lantas menjadi sangat penting sehingga hadir sebagai bagian dari
puisi.
Seperti Li Po, Irfan juga memanggil beberapa
nama yang lekat dalam memorinya, lantas mengabsennya di antara larik puisi. Ada
nama pelukis Dahlan, nomenklatur tempat-tempat bersejarah, seperti Banyumas
Lama. Ia juga mendaftar berbagai moment dalam puisi-puisinya.
Sementara itu, Sultoni
Achmad, seperti hendak menegaskan kebenaran ungkapan Plato yang saya kutip di
awal tulisan. Bahwa puisi boleh jadi puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang
sejarah. Ia juga begitu suntuk menderas berbagai fakta dan fenomena yang
dibahas ulang dengan diksi yang ia isi dengan berbagai kemungkinan pembacaan.
Ia juga menderetkan nama-nama tempat, moment, atau episode, dan sebutan-sebutan
referensial lainnya.
Simaklah puisinya
yang berjudul Candi, atau puisi yang
berjudul Di Bukit Srandil. //Di bukit terjal bergelombang berkali aku
ketemukan/ rupa gunung terbelah dua,
konon belahan angka ‘5/ gelombang
pasang malam purnama, kusaksikan lagi/ orang-orang
berduyun menghidupi kawanan moyang/ dan
mereka anggap jalan membuang kelaparan//. Larik-larik berikutnya dalam
puisi ini merupakan narasi-narasi pendek tentang berbagai fenomena di antara
yang nyata dan yang mitos yang masih tumbuh pada masyarakat pesisir laut kidul.
Elan vital historiografi
juga tampak pada puisi-puisi karya penyair Indra KS. Melalui tajuk Pleidoi Sebuah Tarian, Indra
membahasakan kembali sejarah tarian Buncis
yang dulu mentradisi di wilayah pinggiran Banyumas. Penyair juga mencatat dan
mencatut ritual Ujungan, sebuah
upacara untuk memohon hujan, Ebeg
–seni tradisional khas Banyumas yang menggambarkan semangat kepahlawanan para
prajurit penunggang kuda tempo dulu.
Indra KS, mencoba
mengisi puisi-puisinya dengan berbagai teks kearifan lokal yang bertebaran di
sekitar tempat ia tinggal. Inilah sebuah semangat menghidupkan kultur literasi
dengan kesadaran utuh tentang pentingnya menghidupkan kembali kultur dari akar
tradisi. Simaklah kembali puisi bertajuk Ziarah,
berikut ini. //bonokeling/ bulan putih selangkah lagi terbit/ sinari loronglorong kering pada jiwa/ yang pernah tegakkan syahadat// ritual unggahan memecah sunyi/ dengan beribu butir doa bersama harum seujud
bunga/ pada peristirahatan keramat/
yang tumbuhkan biji surga pada tanah
serayu//.
Bonokeling adalah
seorang ulama, penyebar agama Islam yang pernah hidup di Desa Pekuncen,
Jatilawang, Banyumas. Namanya tercatat dalam memori tentang sejarah Banyumas
lama. Makamnya kerap menjadi sasaran kunjung para peziarah. Melalui puisi di
atas, penyair hendak merekonstruksi tradisi ziarah sebagai bentuk penghormatan
pada yang dinggap luhur. Puisi Ziarah
ini, sebuah potret sosial religi masyarakat Banyumas udik, sekaligus narasi
pendek tentang sejarah.
Romansa
Sebuah Rumah
Kesadaran tentang
perlunya menulis ulang peristiwa yang telah lampau juga tampak pada estetika
perpuisian Ayu Estika. Pada sepuluh puisi yang Ayu tulis, tercermin bagaimana semangat
menuliskan masa lalu sebagai sejarah yang penuh romantika yang terus menyengat
ingatan.
Ayu memilih
menulis romansa, kisah yang mungkin mengharu biru sehingga lekat di ingatan.
Ayu memilih mengisi puisinya dengan kisah-kisah merah jambu, dengan warna
pelangi dan dengan nama apa saja yang menjadi referensi dari semua yang ia
sembunyikan lewat ketaklangsungan ekpresi.
Peristiwa-peristiwa
kecil yang menjadi bagian dari hidup Ayu, dibahasakan ulang lewat diksi yang
cenderung genit. Ia mencatat dan menera ulang tentang Perempuan dan Peron Keberangkatan, yang menyisakan rindu saat aku
lirik menunggu di sebuah Gubug Yang
Terasing, dengan Secangkir Harap
ia begitu setia menunggu seperti Perempuan
di Sudut Stasiun. Guratan peristiwa yang tertulis pada memori adalah ingatan yang menjadi energi yang dapat
diolah menjadi apa saja. Aku lirik mencoba mengingat tentang sebuah Musim Percintaan, Sebuah Lautan, bahkan ia membahasakan ulang peristiwa Di Tepi Rawa Selepas Hujan yang
menyisakan Gerimis.
Seperti halnya
Ayu Estika, empat penyair berikut ini juga menulis sajak dengan pretensi soal
peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Hendrik Efriadi, Otih Kumala, Eri Setiawan,
dan Hani Kurniasih, keempatnya berkubang dengan pilihan-pilihan kata yang
membuat mereka sibuk mendandani wajah puisi. Tetapi semangat yang muncul,
setali tiga uang dengan semangat penyair lainnya; menulis ulang kisah,
membahasakan lagi peristiwa yang begitu kuat menancap dalam ingatan.
Hendrik misalnya.
Ia begitu terpukau dengan sebuah Pertemuan;
di Muara Serayu, ia juga mencatat
tentang Waktu, tentang sebuah
peristiwa Usai Kepulangan. Penyair
yang satu ini agaknya memiliki ingatan yang kuat tentang nama tempat, peristiwa
dan waktu. Coba kita simak lagi beberapa judul sajak-sajaknya; Sekar Gadung yang dipersembahkan utuk Hadiparno, Mangsa Ketiga, pada waktu Malam di sebuah Pekuburan Cina, ia menulis Tentang
Sebuah Sejarah.
Sementara itu
Otih Nurhayati juga memilih membahas soal ingatan, soal peristiwa yang dicatat
ulang, soal kisah yang dituturkan sebagai Memoar
Matahari. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema memoar diberi makna
kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi
yang penuh impresi. Artinya, apa yang ditulis dalam sajak-sajaknya sebagai
memoar adalah semua tentang peristiwa yang boleh jadi telah menjadi kisah.
Elan sajak-sajak
yang ditulis Otih dapat kita lihat lagi pada memoar tentang perkara kecil seperti;
Batik, Mawar, Jam Dinding, dan Es Krim yang secara pribadi Aku Nikmati Sendiri. Diksi dan metafora
yang dipilih Otih memang sangat sederhana. Tampaknya Otih tidak terlalu
mempersoalkan bagaimana ia mendayagunakan bahasa untuk berkenes ria, bersolek membuat
sajak menor. Otih lebih tertarik pada bagaimana ia membahas peritiwa kecil
dengan bahasa yang juga ringan.
Ini pula yang
tampak pada catatan Eri Setiawan, dan Hani Kurniasih. Kedua penyair ini tidak
begitu hirau dengan kerumitan metafora dan diksi. Keduanya lebih memilih
bercerita tentang apa saja yang lekat diingatan. Eri menulis tentang Sendra Tari; Ramayana yang mungkin ia
tonton bersama kekasihnya. Ia juga membahasakan sebuah momentum Di Antara Pinus-Pinus Kecil di Petanahan. Ingatannya tenang Sentir atau lentera dari minyak, membuat
ia merasa penting memungut kisah di Gubug
Hitam.
Eri tak mau
pusing memikirkan metafora. Ia begitu semangat menuliskan segala Fragmen Cinta menjadi Sajak Daun Kering, yang ia gurat di atas
Kertas. Barangkali ia menghendaki apa
yang ia tulis sebagai puisi adalah isyarat (Puisi
Isyarat) yang memuat Pesan Hujan.
Lantas Hani
Kurniasih, mengisi sajak-sajaknya dengan peristiwa-peristiwa satir yang baginya
adalah sebuah parodi. Ia memilih Parodi
Anak Kampung sebagai tajuk yang mewakili sepuluh sajaknya. Kedekatannya
dengan sahabat membuat ia menempatkan seseorang pada posisi yang spesial; pada
sebuah sajak tentang Nyanyian Panjang.
Lantas, ia juga membahasakan ulang beberapa Kenangan
tentang Hujan, Benang Kehidupan yang
membuat aku lirik hendak merintis Membuka
Jalan Bulan. Barangkali lantaran ia jengah dengan Diskusi Kota Mati, sementara Matahari
baginya masih menjadi Cermin yang
memantulkan Ceruk Cinta.
Ingatan tentang
sesorang, peristiwa, tempat, keadaan dan sebagainya adalah idea. Ia dapat
menjadi sumber inspirasi sebuah puisi. Inilah yang dilakoni Aminah Bee yang
begitu terpukau pada seorang Lelaki
Bermata Gerimis. Aminah Bee sesunggunnya juga melakukan repitisi dari
penyair-penyair lain yang juga begitu mengagumi suasana. Lihat lagi sajak Kekasih Laut yang menarasikan kisah
hidup nelayan di Pantai Ayah, atau ungkapan rasa Syukur; penantian petani yang terus menebar doa agar hasil panennya
melimpah.
Aminah Bee adalah
satu-satunya penyair yang bergiat di KPI yang bukan berasal dari Prodi PBSI.
Aminah adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi, itulah sebabnya diksi dan
metafora yang ia gunakan dalam sajak-sajak yang ia tulis begitu dekat dengan
wacana ruang dan waktu. Aminah memunguti kata yang berserak lalu menyusunya menjadi
sajak. Ia banyak mengungkap peristiwa alam sebagai metafora untuk menguarkan
kisah. Simaklah lagi Sajak di Daun Gugur,
dan Dedikasi Hujan. Dua sajak ini
membahasakan soal perisitwa dan suasana yang membuat aku lirik tak dapat
melupakannya.
Tetapi, tak ada
maksud membatasi spasi waktu dan ruang pembacaan pada seratus sajak karya
sepuluh penyair dari KPI. Apa yang telah saya tulis adalah hanya salah satu
bentuk pembacaan, bentuk tafsir atas seni berbahasa atau penikmatan atas
nyanyian. Seperti kata Aminah Bee; //Bernyanyilah
dalam tarian ilalang/ atau duduk saja
nikmati malam/ Mungkin angin akan
membawa rindumu yang telah menumpuk/ lapuk//
Bernyanyilah dalam selimut malam/ yang menutupi rindumu atau/ pergilah mengembara berburu kata-kata/ pada batu yang membisu// sebab malam adalah bahasa perenungan dan
lautan makna/ (Bahasa Malam).
Esai ini merupakan catatan penutup
Antologi Puisi Historiografi
Komunitas Penyair Institut, Prodi PBSI FKIP UMP 2013.
Teguh
Trianton,
Pembaca Sastra, Bergiat di Beranda Budaya.
0 Comments:
Post a Comment