Berkiblat
Pada Cinta *)
Oleh
Teguh Trianton **)
Kejahatan terkejam yang ada pada diri
manusia adalah cinta,
lantaran kau, aku dan waktu pernah dibuat
menangis karenanya,
tapi aku justru hanya dapat hidup dengan
dilukai,
dan lukaku adalah kau.
Seperti puisi, cinta adalah seni. Cinta
merupakan hakekat yang paling inti dari hidup dan kehidupan. Tanpa cinta, maka
manusia tak lagi lengkap syaratnya untuk menduduki kapasistas kemanusiaan.
Cinta adalah api dan air sekaligus. Cinta menjadi nyala, penerang dalam kegelapan,
tapi ia juga dapat berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan, atau bahkan
api yang menyala dan membakar. Tapi, dengan cinta itu pula, nyala akan dapat
dipadamkan, panas menjadi dingin, keriuhan menjadi kedamaian, lantaran cinta
juga air, air kehidupan.
Hidup adalah seni, maka cinta adalah seni (Erich Fromm). Jika untuk menulis puisi dibutuhkan dua laku; mengetahui dan mempraktekan, maka untuk perkara cinta, juga dibutuhkan laku; belajar mengetaui, merasakan dan melaksanakn cinta. Belajar mengetahui cinta merupakan aktivitas intelektual, belajar merasakan cinta merupakan aktivitas afektif yang mengedepankan fungsi emosi, kesadaran diri dalam kontrol pengetahuan. Sedangkan belajar melakukan cinta adalah aktivitas mewujudkan cinta dalam tindakan, atau amalan.
Cinta menjadi perkara terbesar dalam
kehidupan manusia. Itulah sebabnya persoalan cinta dalam konteks apapun, tak
pernah kering diperbincangkan. Cinta menjadi inspirasi terbesar bagi para
penulis sastra. Dalah khazanah sastra, cinta dikonstruksi dan direproduksi
menjadi teks, cinta dikonstruksi menjadi persoalan sekaligus penyelesaian.
Agaknya, cinta pula yang menginspirasi
Mahroso Doloh, menulis puisi tentang cinta, pada kitab puisi Kiblat Cinta; Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani ini. Penyair membahas dan
membahasakan cinta, dalam tiga kutup berbeda.
Kutub pertama, merupakan kutub paling
subjektif yang ada dalam diri aku lirik. Penyair, melalui kutub yang paling
primordial ini mencoba menempatkan puisi sebagai alat ucap. Puisi sebagai ekpresi
untuk merepresentasikan subjektivitasnya terhadapa persoalan cinta. Kemana aka ku simpan sebuah cinta/ jika
aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap hanya terpaksa/ menjadi ombak
hanya ketika// dalam puisi menggunung cinta/ mencari arah tak hingga/ tak ingin
cinta;/ yang menjadi titi neraka.
Penyair melalui dua episode cinta dalam
larik-larik puisi berjudul “Kiblat Cinta” ini, tengah mengabarkan
subjektivitasnya terhadap arah atau posisi cinta yang paling hakiki. Itualh
sebabnya, penyair menempatkan puisi ini sebagai pintu masuk untuk menjelajahi
keseluruhan puisi yang ada dalam buku ini. Meski aku lirik menyediakan pintu
dan kunci untuk memasuki kedalam serta arah cinta dalam puisi ini, namun sebagai teks yang terbuka, kelak kumpulan
puisi ini akan dimasuki dari berbagai sisi. Bahkan pintu yang disediakan
penyair, boleh jadi ditinggalkan begitu saja oleh para pembaca.
Lantaran, pada pintu ini pula, mula-mula
penyair mendeklarasikan keluasan ruang jelajah –baca dan tafsir- melalui larik
pembuka yang menanya; Kemana akan ku
simpan sebuah cinta. Lewat lirik pendek ini, penyair secara subjektif
menawarkan keluasan medan tafsir tentang cinta. Aku lirik secara subjektif,
hendak membiarkan aku publik mencari sendiri kiblat cinta.
Meski demikian, secara subjektif pula, aku
lirik memberikan arah cinta; tak ingin
cinta;/ yang menjadi titi neraka/. Pada titik ini, penyair agaknya
memosisikan puisinya sebagai ekspresi religiositas yang paling pribadi. /dengan cinta; beribu cinta/ membuat taubat
di sela-sela malam/ menderai gerimis hitam/ menjadi secawan zamzam// (fragmen tiga). Bait ketiga ini menegaskan
bahwa perkawa cinta sesungguhnya dapat membawa manusia pada situasi penuh
masalah, itulah sebabnya, sebaik-baik cinta adalah ketika ia merupakan jalan
terang menuju pertaubatan, di waktu yang paling sunyi dan pribadi.
Lihatlah bait empat, episode akhir ini
menjadi semacam konklusi penyair dalam melihat cinta secara subjektif. /dengan cinta; beribu cinta/ angin, panas,
hujan/ semua terasa pada telubuk kalbu/ hanya mencari kiblat Cinta/. Aku
lirik menutup fragmen ini dengan sebuah kalimat penegasan, bahwa persoalan
kehidupan adalah persoalan mencari kutub, hanya mencari kiblat.
Kutub pertama yang menjadi kiblat aku lirik
ini kemudian dipertegas pada bagian ketiga buku puisi ini. Aku lirik menegaskan
pencarian arah cinta dengan tajuk “Untuk Pohon Cinta”. Bagian ketiga ini
merupakan perwujudan kerinduan aku lirik akan kiblat yang dapat ia temukan di
mana saja. Lantaran kiblat cinta bukanlah arah yang dipandu dengan kompas,
melainkan hakekat cinta itu sendiri yang tak mengenal arah secara geografis.
Kutub yang kedua adalah kutub kultural
penyair. Kutub kultural ini menjadi titik berangkat dan titik tuju pulang sekaligus.
Patani adalah nama sebuah kawasan di Thailand, tempat moyang penyair lahir dan
dibesarkan. Patani dalam kumpulan puisi Kiblat
Cinta, merupakan kutub kedua yang juga primodial. Bagaimanpun, subjektivitas
yang pertama akan muncul sebagai buah ranum pohon budaya tempat penyair
ditanamkan oleh orang tuanya atau menanamkan dirinya sebagai bagian dari
entitas sosial.
Patani adalah kutub kultural penyair.
Itulah sebabnya, meski saat puisi-puisi ini ditulis; aku lirik berada di
Indonesia, namun pengetahuannya dan emosinya tentang cinta membuat ia terus dihinggapi
rasa rindu pada kampung halaman. Rindu yang menggelegak ini menyebabkan aku
lirik secara sentimentil mengingat tanah tumpah darahnya.
Saat cinta berada pada orbit yang berbeda,
maka seseorang akan mengalami situasi rindu. Rindu sebenarnya merupakan akibat,
yang pada situasi tertentu akan menjadi sebab. Bersebab subjek cinta berada
pada ranah budaya yang berbeda, maka rindu adalah keniscayaan. Lantaran rindu
yang menggebu, maka subjek cinta akan mengalami situasi kegalauan; Apa yang harus kutulis/ untukmu bumi Patani/
sekian lama kau ditindih/ tenggelam air dan darah-darah// hari ke hari/
tulangmu selalu dihimpit/ tak ada ruangan untu bertumbuh/ menjadi subur agar
bisa berlari di cakrawala//. Intensitas pergualan batin pada medan rindu;
antara kenangan yang bertumpuk, dendam tentang masa silam yang igin ia bayar di
masa depan (cakrawala), membuat aku lirik memiliki optimisme, berwasiat secara
literer pada bumi Patani.
Kutub yang ketiga adalah kutub cinta ketiga.
Saya menyebut cinta ketiga, lantaran aku lirik telah memiliki cinta pertama
pada hakekat cinta yang tengah ia cari kiblatnya, cinta kedua adalah cinta
penyair pada tanah moyangnya yang menjadi ibu kandung kebudayaan yang
mengasuhnya, sementara cinta ketiga adalah keterpesonaan penyair pada Indonesia.
Meski bertajuk ‘Catatan Indonesia’ namun,
sesungguhnya roh kutub cinta ketiga ini berasal dari bumi cabalaka; Banyumas. Pergulatan intelektual dan kultural penyair
dengan wong Banyumas sebagai subjek individu maupun sebagai entitas sosial
budaya, telah mengkontruksi cinta yang ketiga. “Banyumas Seindah Negerimu”,
demikian aku lirik memberi tajuk pada puisinya, yang merupakan presentasi
kekaguman atau mungkin buah keterpecahan pengetahuan budayanya.
Banyumas
seindah negerimu/ embun pagi memaniskan mataku/ gunung Slamet merayu-rayu kalbu/
Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju/ fajar menyingsing
kumelihat di setiap penjuru/ sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku
terpaku.// Telaga sunyi/ pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi/ bumi perkemahan
kebun raya terperi/ negeri mutiara pusaka Ilahi/ yang tak terlukis dada sebelum
kukunjungi.//
Cinta selalu lahir dalam ketegangan antara
keinginan, harapan, dan kenyataan. Puisi selalu lahir dari pergolakan;
pemikiran, emosi, dan pergulatan sosial. Penyair pada hakekatnya adalah manusia
biasa yang lahir dengan ketidak seimbangan. Untuk itulah, tugas mulia manusia
di muka bumi ini adalah berkreasi dan berekreasi menciptakan keseimbangan. Tugas
penyair adalah menciptakan keseimbangan melalui puisi, berkreasi dan
berekreasi.
Barangkali inilah yang dilakukan Mahroso
Doloh, Penyair muda asal bumi Patani Thailad, yang saat menulis puisi ini; ia
merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP). Sebagai mahasiswa dari negara jiran tentu saja ia memiliki
kutub intelektual yang berbeda dengan mahasiswa setempat. Namun dengan latar
budaya Melayu, yang setali tiga uang merupakan moyang bahasa Indonesia, membuat
puisi-puisi yang ia tulis menarik untuk ditilik dari perspektif kebahasaan. Pada
sudut yang lain, keterpesonaanya pada kultur Banyumas membuat penyair yang satu
ini memiliki potensi untuk mengawinkan kutub budaya Banyumas dan Patani (Melayu)
dalam karya-karyanya yang lain di masa datang.
Lewat kumpulan puisi Kiblat Cinta ini, Mahroso menawarkan kiblat, atau kutub cinta yang
ia sendiri tengah mencarinya. Cinta, sekali lagi; merupakan inti kehidupan
manusia. Cinta dalam berbagai dimensi dan konteksnya berada di satu titik, yang
dapat berpendar ke segala arah. Saat cinta berpendar inilah, cinta seperti
berangkat dari satu titik menuju titik lain sebagai kiblat yang entah. Tapi
melalui kesadaran yang paling dalam, sesungguhnya kiblat cinta tak lagi perlu
dicari, lantaran kiblat cinta adalah cinta itu sendiri. Melalui puisi-puisinya,
penyair ingin mengajak aku publik menjelajah berbagai dimensi dan kutub cinta,
hingga pada akhirnya menemukan keseimbangan dan kembali pada titik yang disebut
kiblat Cinta.
*) Esai
ini merupakan catatan pengantar buku kumpulan puisi bertajuk Kiblat Cinta karya
Mahroso Doloh, mahasiswa PBSI FKIP UMP yang berasal dari Patani, Thailad
Selatan.
**) Teguh Trianton
adalah Peneliti Beranda Budaya Purwokerto, Siswa Program Doktor Pendidikan
Bahasa Indonesia (PBI) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengajar di
Prodi PBSI FKIP UMP.
0 Comments:
Post a Comment