Robohnya Soetedja Kami
Teguh Trianton
Di tepinya sungai Serayu/
waktu fajar menyingsing/
Beberapa
hari yang lalu, saya melakukan perjalan dari Jogjakarta ke Purwokerto dengan
menggunakan moda transportasi kereta api. Dua baris lirik lagu di atas saya
dengar dalam bentuk insrument saat kereta api memasuki dan berhenti di stasiun
Kroya. Kemudian instrument yang sama saya dengar lagi saat kereta berhenti di
stasiun Notog, dan berakhir di stasiun Purwokerto. Instrumen tersebut merupakan
penggalan lagu “Di Tepi Sungai Serayu” karya kompenis legendaris kelahiran
Banyumas R. Soetedja Poerwodibroto. Mendengar instrumen tersebut, sebagai orang
Banyumas, saya merasa bangga bahwa Banyumas memiliki seorang kompenis
legendaris.
Turun dari
stasiun, perjalanan saya lanjutkan menggunakan ojek menuju arah timur, Pasar
Manis. Ada suasana berbeda, saat ojek yang saya tumpangi memasuki pertigaan
Jalan Gatot Soebroto. Saya melihat ada beberapa petugas keamanan tengah berjaga
di tepi ruas jalan tersebut. Mereka adalah personil yang bertugas membuat
kawasan tersebut steril, dalam rangka kunjungan Presiden RI yang akan meresmikan
perluasan Pasar Manis. Saya, sebagai orang Banyumas pun merasa bangga, lantaran
Joko Widodo, Presiden RI menyediakan waktu berkunjung.
Ojek yang
saya tumpangi melambat. Saya melihat ke sebelah kiri ruas jalan. Rasa bangga
saya, pelan-pelan tertukar dengan haru dan sedih. Di situ, dulu berdiri Gedung Kesenian
Soetedja (GKS). Namun saat ini gedung tersebut
telah rata dengan tanah. Di tempat itulah, Presiden akan melakukan ritual
simbolis, memasang batu pertama yang menandai pembangunan perluasan pasar
(30/06/2015).
Sejarah Pendek GKS
GKS
merupakan alih fungsi gedung bioskop Indra pada tahun 1970. Nama Soetedja
dipilih sebagai bentuk penghargaan kepada R. Soetedjo yang telah mengharumkan
nama Banyumas. Nama komponis yang lahir 15 Oktober 1909 dan wafat 12 April 1960
ini secara resmi dijadikan nama gedung kesenian pada 14 Maret 1970. Bupati Banyumas
Soekarno Agung saat itu, meresmikan GKS sebagai pusat kegiatan para seniman.
Gedung ini
merupakan rumah bagi para seniman Banyumas. Pada tahun 1990-an, GKS menjadi
dapur, laboratorium, dan ruang apresiasi seniman setempat. Sejumlah nama
seperti Bambang Set (Alm.), Edhi Romadlon, dan Badrudin Emce menjadikan tempat
ini sebagai rumah dalam bekesenian. Mereka juga menjadikan GKS sebagai
laboratorium, tempat melakukan eksperimentasi seni. Di tempat ini, denyut
berkesenian terpompa, menjalar dan menjulur menumbuhkan kehidupan seni di
dearah sekitarnya.
Pasca
reformasi 1998, denyut kegiatan seni di GKS mulai tampak memudar. Rumah seniman
Banyumas ini mulai sepi. Para seniman mulai solitaire, tampak sibuk merayakan
euporia kebebasannya sendiri-sendiri. Pada tahun 2004, GKS yang merupakan
simbol supremasi berkesenian seniman Banyumas itu beralih fungsi menjadi gudang
logistik Pemilu. Sejak itu, riwayat GKS sebagai rumah seniman Banyumas
berakhir. Hingga pertengahan Mei 2015, rumah para seniman ini dirobohkan.
Posisi Tawar Seniman
Robohnya
rumah seniman Banyumas tersebut sempat mendapat resistensi dari sejumlah pegiat
seni setempat. Dengan mengusung tag line
GKS sebagai ‘harga mati yang tak bisa diganggu gugat dan harus dipertahankan’,
para seniman muda Banyumas menyuarakan penolakan. Melalui berbagai mimbar bebas
dan happening art, para seniman
mencoba mempertahankan keberadaan rumah tinggalnya. Namun upaya ini akhirnya
sia-sia. GKS sebagai ikon berkesenian di Banyumas telah runtuh.
Peristiwa
ini boleh jadi merupakan penanda bahwa idealisme seni(man) dan berseni di
Banyumas juga telah runtuh. Seniman tampak mulai alpa jika seni merupakan jalan
hidup dan perjuangan. Seni merupakan intsrumen untuk meyuarakan kepentingan
rakyat. Alih-alih memperkuat basis berkesenian, para seniman justru terlibat polemik
yang kontra-produktif. Puncaknya terjadi pada ajang musyawarah daerah (Musda)
Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) 2013.
Musda DKKB
yang sedianya memilih ketua dan pengurus periode 2014-2019 sempat diwarnai
protes yang berujung walk-out.
Sejumlah seniman muda menolak politik praktis. Mereka memboikot hasil Musda,
lantaran ditengarai DKKB disusupi oleh orang-orang yang tidak kompeten dalam
bidang seni. Mereka menolak masuknya orang yang memiliki afialiasi kuat dengan
partai politik tertentu.
Robohnya
GKS dan kisruh dalam Musda DKKB boleh jadi merupakan sinyal rendahnya posisi
tawar seniman Banyumas di hadapan pemerintah dan masyarakat. DKKB merupakan
lembaga resmi yang memayungi kegiatan seniman Banyumas. Lembaga ini juga
menjadi representasi legal posisi seniman terhadap pemerintah dan masyarakat. Lembaga
ini digadang-gadang memberikan kontribusi menyuarakan kepentingan seniman.
Namun lembaga ini tidak terdengar suaranya, tatkala rumahnya akan dirobohkan.
Bahkan lembaga ini juga takberdaya saat Pabrik Gula (PG) Kalibagor, salah satu
bangunan cagar budaya di Banyumas akan di gusur.
Teguh Trianton, Pegiat Beranda Budaya
Banyumas,
Siswa Program Doktor PBI UNS
Surakarta.
Tulisan ini disiar (dimuat)
pertama kali oleh SKH Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 2 Agustus 2015,
halaman Budaya.
0 Comments:
Post a Comment