11 Januari 2012

Membaca Purbalingga Lewat Cermin

Share

Membaca Purbalingga Lewat Cermin

Oleh Teguh Trianton


Secara kasat mata, saat menapak usia ke 181 wajah Purbalingga begitu elok jika dilihat dari luar. Dengan pembangunan yang gencar dilakukan, pemerintah setempat sepertinya berhasil mendandani paras kota Perwira yang dahulu kusam menjadi rupawan. Setidaknya, inilah pujian yang jamak dilontarkan oleh orang yang kebetulan lewat atau melihat roman muka Purbalingga.

Pemerintah tidak keliru jika mengklaim telah berhasil menata kota. Sedikit pulasan dan beberapa ornamen digadang-gadang bakal menjadi ikon Purbalingga. Sebut saja; taman –kota- Usman Janatin, alun-alun bundar, Gelora Guntur Darjono, Masjid Agung Darusalam –Nabawi- Purbalingga dan kawasan ekonomi Segitigamas. Semua itu telah membuat kota kelahiran Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman ini selalu tampak menor dan genit merayu investor dari luar.

Tak hanya itu, sebagai kota industri knalpot terbesar di Indonesia dan bulu mata palsu terbesar di Asia, menjadikan Purbalingga juga begitu molek untuk disebut kota industri, kabupaten pro investsi dan kota eksportir. Ini adalah narasi pembangunan Purbalingga yang terlanjur menjadi cerita rakyat setempat. Kisah yang romantis yang sangat membanggakan bagi sebagian warganya.


Cermin

Narasi yang berbeda justru terbaca lewat buku kumpulan cerita mini (Cermin) karya enam penulis perempuan muda Purbalingga. Antologi sederhana yang memuat 21 cermin bertajuk Pamong Praja ini merupakan kado untuk ulang tahun ke 181 Kabupaten Purbalingga yang jatuh pada 18 Desember lalu.

Membaca narasi-narasi pendek dalam cermin ini, saya seperti menemukan tubuh kota penghasil idep (bulu mata palsu) yang tanpa busana. Keenam penulis yang berproses dalam wadah Kelas Menulis Purbalingga ini berhasil menampilkan wajah Purbalingga yang apa adanya.

Cermin berjudul Pamong Praja misalnya. Dengan 238 kata, Fitri Arumsari (Fie) berhasil memantulkan wajah lain dari menjamurnya pabrik pengolah rambut di Purbalingga. Melaui tokoh fiksi bernama Karyo dan istrinya Ratmi, penulis berhasil menyuguhkan ironi kehidupan rumah tangga sederhana. Sebagai buruh di pabrik idep, setiap hari Ratmi mesti berangkat kerja, sementara Karyo justru menggantikan peran Ratmi sebagai ibu ramah tangga dengan mengasuh anak. Dari sinilah muncul akronim pamong praja yang berarti papa momong mama kerja.

Alfy Aulia dengan lugas mencerminkan fenomena perceraian yang terjadi pada rumah tangga muda di Purbalingga. Melalui cerita berjudul Rujak Rujuk, Alfy mengisahkan ironi seorang lelaki penganggur yang dicerai oleh istrinya yang memiliki karier lebih cemerlang. Alfy sebenarnya tengah mengurai mitos soal terbukanya lapangan pekerjaan bagi kaum pria di Purbalingga.

Kisah ironi juga tercermin dalam narasi pendek berjudul Beringin yang ditulis Syifa Faidati. Cerita ini diniatkan sebagai cerita romatis. Namun kisah cinta antara Ana dan Iwan ini menyadarkan pembaca tentang kondisi riil alun-alun yang menjadi jantung kota Purbalingga. Iwan tidak mau menunggu Ana di Alun-alun. Ia tidak betah berada di bawah rindang pohon beringin yang tumbuh di sana. Bukan memberi kesejukan tapi justru menebarkan aroma pesing, lantaran di bawah pohon ini sering digunakan sebagai tempat buang air kecil.

Sementar itu, melalui dua cerita bertajuk Ijazahku Ora Payu dan Ujung-ujunge Idep, Fitri kembali mencermikan dampak pertumbuhan pabrik idep di Purbalingga. Kedua cermin ini memuat tubuh telanjang kondisi pendidikan di Purbalingga. Melalui tokoh Sugi dan Rusti terlihat jelas bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Rusti yang lulusan SMA harus bekerja dalam satu meja dengan Sugi yang hanya lulus SD. Keduanya tiap hari menjadi buruh bagian produksi idep.

Yubni A.I memalui cermin berjudul Pak Polisi, berhasil memantulkan dua kondisi riil Purbalingga. Pertama, soal tradisi operasi lalu lintas dengan sasaran pelajar yang belum memiliki SIM. Kedua, model penyelesaian dengan cara ‘damai’ di lokasi penilangan.

Dua penulis lain yaitu Farah Farihah dan Pipit Tri Ambarwati juga berhasil mencerminkan kondisi Purbalingga yang berbeda. Melalui cermin berjudul Tanah Lempung, Farah membentuk narasi ringan tentang potensi alam Purbalingga. Dengan ingatan masa kecilnya, Farah menghubungkan dua fragmen antara tempat penitipan sepeda dan kebiasaan bermain lemah lempung.

Sedang, Pipit lewat cermin Salah Pathi menceritakan ihwal nasib orang-orang desa di Pinggiran Purbalingga. Ada dua hal yang diungkapkan Pipit di sini. Pertama soal potensi tanaman perkebunan, kedua soal realitas masih banyak orang desa yang mengolah ubi kayu menjadi makanan pengganti nasi.


Pembangunan

Terlepas dari persoalan kelemahan pada aspek teknis penuturan cerita dan gramatika, kumpulan cermin ini merupakan bentuk perhatian generasi muda Purbalingga terhadap proses pembangunan yang terus berlangsung. Setidaknya keenam penulis berani menunjukan wajah Purbalingga yang apa adanya.

Sementara itu, sebagai teks sastra, saya melihat terbitnya kumpulan cermin ini menjadi tonggak kehidupan bersastra di Purbalingga yang selama ini luput dari peta budaya setempat. Setidaknya, Kelas Menulis Purbalingga menjadi ladang persemaian generasi penulis muda yang berpotensi membangun Purbalingga melalui teks sastra.


Teguh Triaton, Peminat Sastra,

Warga Purbalingga bergiat di Komunitas Beranda Budaya Banyumas.

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.