22 Februari 2012

Ingatan, Hujan, dan Perandaian

Share


Ingatan, Hujan, dan Perandaian
Oleh Arif Hidayat *)


Nama Teguh Trianton sudah saya dengar sejak tahun 2006, terutama dalam perkulihan puisi oleh Abdul Wachid B.S., juga dari beberapa kalangan sastrawan lainnya, namun mimpi untuk bertemu selalu gagal jadi kenyataan. Saya termasuk kagum dengan puisi-puisinya, terutama yang ada dalam antologi bersama Jiwa-jiwa Mawar dan Untuk Sebuah Kasih Sayang, juga yang saya temukan di media massa: tampak bahwa puisinya indah, mampu membentuk suasana yang tenang, walau tampak ada gelora cinta yang tersembunyi di dalam imaji. Namun, penilaian itu hanya sebuah pengamatan singkat, yang masih harus dibuktikan.

Barulah, saya berjumpa dengan Teguh Trianton di tahun 2008, sekitar pukul 14.30 dengan udara yang lembab, untuk mendiskusikan rencana pergi ke Solo bersama—ketika itu kami berjanjian di UKM Teater Perisai, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dan, saya baru tahu bahwa Teguh Trianton tidak terlalu banyak bicara, cukup yang penting saja, tapi kritis untuk bertindak. Udara makin lembab. Hujan bersiap turun, maka kami harus berpisah. Itulah yang teringat.

“Ingatan sebagai bentuk temporal kesadaran” begitu kata Giddens. Adapun “tindakan mengingat,” lanjutnya, “sebagai cara menampikan ulang pengalaman-pengalaman masa lalu dalam bentuk lain” berdasarkan pengetahuan yang berdamai dengan situasi, baik sosial maupun psikologis: situasi berlapis dan dialogis.

Jika saja saya sepenuhnya mendekati puisi dengan berorientasi pada ingatan-ingatan, maka akan membawa pada autoritarianisme, yang sudah tentu merujuk pada dialektika penyair dalam kreativitas. Tetapi, saya tidak sepenuhnya seperti itu. Saya jadikan ingatan sebagai pembacaan tanda-tanda yang begitu kompleks. Dan, jika kau tidak memiliki ingatan tentang Teguh Trianton, maka kau dapat memulainya dari sini: dari pertemuan yang mengesankan dengan puisinya. Puisi Teguh Trianton yang terkumpul dalam buku Ulang Tahun Hujan jauh lebih mampu memberikan sentuhan pada ingatan dengan memperlihatkan aktivitas sehari-hari secara unik, dan memperlakukannya dalam jejak yang imajinatif, ketimbang pertemuan saya secara langsung...
to be addressee.

Dengan membaca buku puisi Ulang Tahun Hujan akan membawa kita pada ingatan tentang hujan, yang selalu tumbuh dalam sejarah kita karena mampu meruang-waktu, dalam musim yang berbeda sekalipun—sebagaimana ia hadir dalam sederhana untuk bumi dan memberi kebahagiaan. Hujan selalu ada di sekeliling kita, bahkan ada pada diri kita dan bisa menjadi perandaian yang menarik jika mampu memberikan perhatian pada pesan untuk menawarkan eskapisme dan relaksasi.

Teguh Trianton senang dengan kata “hujan”, dan hal-hal terkait dekat dengan hujan: air, sungai, laut, cuaca, iklim, juga susunan lain dalam alam semesta yang berpretensi memiliki hubungan dengan hujan. Ada sajak “Aku Hampiri Hujan”, “Hujan adalah Kau”, “Ada Mendung di Wajah Hujan”, “Kaulah Sungai”, “Malam Tepi Sungai”, “Ulang Tahun Hujan”, dan “Karena Hujan adalah Kau”. Keceriaan tentang hujan oleh Teguh Trianton terhubung dengan masa lalu, ingatan baik secara sadar maupun ketaksadaran. Hujan menjadi romantik dan putik dalam pertautan dengan seseorang yang berada di dalam ingatan.

Memang, tak ada puisinya yang secara langsung beriktikad menjelaskan ingatan, tetapi temporalitas pengalaman bekerja pada ingatan untuk menampilkan situasi puitik atas citra hujan menjadi suatu peristiwa yang lain: dalam ruang yang lebih diam. Bayangkanlah, bahwa dalam orang yang hidup di iklim tropis, akan banyak curah hujan dan air yang lembut memenuhi sungai menuju laut, sementara mata hanya terpaku menatap.

Ingatlah, tentang hujan. Mungkin sore hari, dari jendela, ketika warna putih bergemuruh di atap rumah dan menjadi aliran pada tanah yang basah, tapi kau merasakan sepi. Itulah masa yang puitik, dan rasa ingin bermain dalam hujan tampak sebagai jiwa yang bebas dan lepas dengan meluncur satu per satu. Ingatlah pada: “Wajah air yang bagai berisi di musim dingin/ telah menjadi baju rantai (lamena) berkat angin”, yang ditulis oleh Rumi, yang konon—kata Annemarie Schimmel—peristiwa itu terkait musim semi dengan berbagai pesona yang puitik. Ketertarikan perasaan pada sebuah ingatan akan membawa pada situasi, yakni semacam pertemuan yang terhubung dengan berbagai peristiwa beserta dengan lingkungan untuk memberikan kesadaran di masa yang sekarang ini kita jalani.

Hujan pada puisi Teguh Trianton adalah perandaian yang dalam sisi tersembunyi dan menjelma simbol. Gambaran tentang peristiwa hujan dapat menjadi apa saja, meskipun kebanyakan menjadi ungkap cinta: ada mendung di wajah hujan yang menulisi bumi dengan tirus-tirusnya, kemudian kuurai sungai, kugelar laut di jantungku. kulayarkan waktu, mendaki diri sendiri. Ada warna sureal terhadap hujan, yang merupakan simbolitas dari seseorang, yang mungkin mirip hujan. Di situlah, keindahan terbentuk, kesan muncul, dan ingatan kita terhentak antara realitas dan perasaan. Walaupun, ketika memasuki ruang itu, terasa semakin jauh, seperti sisi lain yang tak pernah lengkap jika hanya digambarkan saja.

Hujan, bukanlah hujan yang sebenarnya, seperti halnya “sungai yang telah memperdayaku dengan lekuk tubuhmu” tampak sebagai personifikasi, namun bukan karena maksud lebih tertuju pada manusia dengan lekuk tubuh berkelok seperti sungai hingga mampu menggoda. Kita membayangkan bahwa sungai seperti seorang perempuan dengan pesona keindahan, justru itulah penanda yang dibentuk dengan memungkinkan objek dapat ke luar dan masuk melalui imajinasi. Begitu pula, hujan—dalam sajak berjudul “Hujan adalah Kau”—membentuk gambaran tentang sungai yang hijau di antara pohon-pohon yang rindang, tapi hujan adalah kau-lirik: “hujan adalah kau, yang menghilir di serat-serat nafas, menggenang di ingatan yang hijau.”

Dan, saya tekankan, menandai hujan dalam puisi Teguh Trianton harus berhati-hati karena hujan dapat menjelma apapun: Selalu saja hujan yang angkat bicara, padahal aku baru saja belajar menyusun kalimat. Tentang harga diri itu, agaknya hujan lebih paham dengan mengirim sampah ke muara. Tentang hak asasi manusia itu, hujan begitu fasih melantunkan airmata. Dalam sajak “Selalu Saja Hujan yang Angkat Bicara” hujan seolah-olah adalah seseorang yang lebih tahu segalanya. Hujan bukan lagi rintik-rintik yang kita lihat dengan jutaan air turun dari awan, tetapi hujan lain yang dalam simbol individu dari Teguh Trianton. Diksi “hujan” begitu sering muncul, bahkan sampai pada puisi tahun 2008, dalam “Pledoi 5: Kebencian”, namun, itu bukan sebuah pengulangan yang membosankan. Hujan dapat berada di mana saja, untuk menjadi ungkapan yang berbeda, walaupun tingkat detail agak kurang.

Hierarki yang dibangun oleh puisi yang pendek, semacam pesan singkat (dalam porsi antara lyrik dan imajis) memang tak sanggup memperbicarakan struktur sosial dalam keadaan deskriptif, kecuali menarik beberapa fenomena ke dalam pengalaman secara bertaut. Sajak “Tersisih Harry Potter”, “Limabelas detik Goa Jatijajar”, dan “Kamandaka” adalah contohnya.

Maka, puisi menjadi semacam ingatan yang hadir dalam selintas sepintas dari kerja imajinasi dengan menghadirkan kata-kata indah atas suatu pengalaman. Menulis puisi menjadi tindakan mengingat, dengan tubuh yang bergerak mengikuti bentangan perasaan suka dan cemas dalam kekaguman pada masa lalu. Keadaan sekarang ini dapat menjadi masa lalu untuk besok. Dalam pada itu, tubuh menandai perjumpaan antara kehadiran dan ketidakhadiran, baik sebagai subjek maupun objek. Tubuh menjadi penting untuk melihat posisi dan interaksi seperti, “di dadamu kutulis puisi” atau “di dada hujan kutulis sajak”. Keterhubungan gambaran alam dengan tubuh adalah negosiasi makna yang dibangun oleh Teguh Trianton—terutama ikhwal cinta yang manja.

Tampak, untuk buku puisi Ulang Tahun Hujan lebih liar dan menggelora pada sajak-sajak 2006 dan sebelumnya, sementara sesudahnya cukup bervariatif, terutama pada wacana dan kesadaran berbahasa. Pengalaman cinta lebih unggul dalam ingatan. Itu bukan sebatas ilusi. Di dalam ingatan, juga ada pe
ristiwa sosial karena ada interaksi dan perjumpaan subjek-objek sebelumnya, baik langsung maupun tidak, kemudian dimitoskan lewat artikulasi bahasa.
Masih banyak sebenarnya, penanda-penanda yang berada di dalam puisi Ulang Tahun Hujan, maka temukanlah sendiri karena kau punya persepsi, pandangan, dan harapan berdasarkan pengusaan pengetahuan. Saya yakin, kau akan menemukan ingatan lain, tentang puisi Ulang Tahun Hujan yang romantis dan susah untuk marah dengan jiwa yang bergelora misalnya. Atau, kau bisa menemukan struktur sosial buku puisi ini berada dalam kultur yang agraris dan penguasaan tubuh yang tersembunyi. Semua itu dapat terjadi, dengan konteks yang dapat memberikan penyegaran. Ingatan akan bekerja dengan jejak yang lebih mendalam secara dialektis terhadap estetika dan etika sehingga kesejajaran dan analogi menjadi terhubung.

Tapi, bila ingatanmu terganggu oleh kebingungan, kegagapan, ataupun keterlupaan, maka kesan menyenangkan dan indah adalah jalan terakhir. Di situ, kau bebas memberi bunyi atau hanya
to escape from reality (menjadikan selingan dari hidup). Tenanglah, untuk yang berada di dalam sana terhubung dengan yang di luar sana. Maka, nikmatlah alam yang tenang dalam buku puisi Ulang Tahun Hujan seperti rintik sore di tepi jendela ketika kau sendiri dan ingin berpuisi—seperti saat kau mengingat sebuah kenangan dan kedamaian melambai. Temukanlah hujan yang tentram untuk membasahi hatimu yang lama kemarau.***

Purbalingga, 24-25 Desember 2011

Arif Hidyat adalah penyair,
Magister Humaniora Kajian Budaya UNS Solo,
aktif di Beranda Budaya, dan tinggal di Purbalingga.

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.