17 September 2011

Share

PEMKAB Purbalingga menggagas menyediakan pelayanan pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin dengan mendirikan SMK duafa. Rencana ini bisa jadi menjadi angin segar bagi siswa dari keluarga miskin di kabupaten tersebut. Namun gagasan ini terlihat kurang perencanaan matang. Sedikitnya dua fraksi di DPRD Kabupaten Purbalingga dengan malu-malu meminta pemerintah menghentikan pendirian unit sekolah baru (USB) itu (SM, 27/07/11). Fraksi Partai Golkar (FPG) dan PAN meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pendirian USB yang akan menelan anggaran Rp 5 miliar yang sedianya diambil dari dana intensif daerah (DID).

Dua fraksi tersebut menilai rencana pemerintah ini tidak tepat sasaran. Fraksi Partai Golkar beranggapan jika program ini tidak akan menyelesaikan masalah rendahnya akses pendidikan bagi siswa miskin. Fraksi itu juga mempertanyakan sumber anggaran yang akan digunakan. Sebagai solusinya, mereka menawarkan program beasiswa.

Setali tiga uang, FPAN juga keberatan dengan rencana pemerintah ini. Dalam pandangan mereka, sebaiknya dana pendirian sekolah miskin itu dialokasikan untuk sekolah berbasis agama mengingat alokasi dana untuk sekolah ini masih rendah.

Dalam beberapa hal, penulis sependapat dengan alasan keberatan dua fraksi tersebut. Namun sebenarnya ada yang lebih substansial yang mendasari pendirian sekolah (bagi siswa) kurang mampu itu. Model sekolah itu tidak akan maksimal menyelesaikan permasalahan. Penulis justru melihat rencana pendirian sekolah ini berisiko melahirkan permasalahan baru.

Keberadaan sekolah ini kelak justru melahirkan kelas sekolah baru, sekolah bertaraf duafa (SBD). Meskipun gratis, siapa pun yang bersekolah di tempat itu merasa minder. Siswa sekolah ini akan merasa menjadi tontonan di tengah euforia pendirian sekolah bertaraf internasional (SBI).

Jika siswa SBI merasa dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang telah mereka beli, sebaliknya siswa SBD harus menerima fasilitas yang ada. Penulis tidak yakin jika pemkab bisa menyediakan fasilitas yang setara atau setidaknya memadai sesuai dengan standar pelayanan minimal pendidikan.

Sebenarnya, permasalahan utama dunia pendidikan di Purbalingga adalah rendahnya kualitas. Program sertifikasi guru jalur penilaian portofolio belum terbukti berpengaruh pada peningkatan profesionalitas guru. Ini terjadi lantaran tidak berjalannya supervisi pendidikan yang ketat. Kinerja guru bersertifikat tidak pernah dievaluasi. Di sisi lain, program pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) yang tengah digulirkan juga masih mengundang tanda tanya. Apakah hasilnya cukup efektif mengubah dan meingkatkan kualitas pendidikan atau tidak?


Biaya Operasional

Sementara program RSBI dan SBI yang mendapat konsentrasi dana dari pemerintah pusat juga belum terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan. Keberadaan dua sekolah ini belum menjawab permasalahan tersebut. Sekolah ini justru telah menciptakan kelas baru dengan kualitas yang sama dengan sekolah lainnya.

Sebenarnya jika permasalahannya adalah minimnya ruang akses pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin maka penyelesaiannya sangat sederhana. Masih ada belasan SMK/SMA swasta di Purbalingga yang kekurangan murid, lantaran kalah bersaing dari sekolah negeri. Sekolah-sekolah swasta siap menampung mereka tanpa embel-embel siswa miskin.

Jika permasalahannya adalah dana maka pemda dapat membuat regulasi penyaluran beasiswa yang lebih efektif. Siswa-siswa miskin diseleksi oleh pemerintah, kemudian mereka dititipkan pada sekolah swasta yang lokasinya paling mudah dijangkau. Pola ini memiliki tiga keuntungan. Pertama; sekolah swasta terbantu dalam perolehan siswa baru. Kedua; beasiswa yang disalurkan dapat dikelola dengan lebih efektif. Ketiga; siswa miskin dapat memilih sekolah terdekat yang dapat diakses dengan biaya paling murah.

Bagaimana dengan guru yang mengajar di sekolah miskin ini, apakah mereka terdiri atas para sukarelawan atau guru PNS yang memang harus digaji pemkab? Lantas bagaimana biaya operasional sekolah ini? Pemkab pasti memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan permasalahan pada bidang pendidikan dan masyarakat menunggu jawaban pemerintah atas pertanyaan itu. (10)

Sumber : Suara Merdeka, 16 September 2011

— Teguh Trianton, warga Purbalingga, peneliti dari Beranda Budaya Banyumas



| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.