17 Agustus 2011

Sekolah Bertaraf Dhuafa

Share

Sekolah Bertaraf Dhuafa

Oleh Teguh Trianton


Pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga berniat memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin dengan mendirikan SMK Dhuafa. Rencana ini bisa jadi merupakan angin segar bagi siswa dari keluarga miskin di Purbalingga. Namun gagasan ini terlihat kurang perencanaan yang matang.

Sedikitnya dua Fraksi di DPRD Kabupaten Purbalingga dengan malu-malu meminta pemerintah menghentikan pendirian unit sekolah baru (USB) ini (SM, 27/072011). Fraksi Partai Golkar (FPG) dan PAN meminta pemerintah agar mengkaji ulang rencana pendirian USB yang akan menelan anggaran sebesar Rp 5 miliar yang sedianya diambil dari dana intensif daerah (DID).

Kedua fraksi tersebut menilai rencana pemerintah ini tidak tepat sasaran. FPG beranggapan jika program ini tidak akan menyelesaikan masalah rendahnya akses pendidikan bagi siswa miskin di Purbalingga. Fraksi ini juga mempertanyakan sumber anggaran yang akan digunakan. Sebagai solusinya, FPG menawarkan program beasiswa.

Setali tiga uang, FPAN juga keberatan dengan rencana pemerintah ini. Dalam pandangan FPAN, sebaiknya dana pendirian sekolah miskin itu dialokasikan untuk sekolah berbasis agama. Mengingat ploting dana untuk sekolah ini masih rendah.

Bertaraf Dhuafa

Dalam beberapa hal, saya sependapat dengan keberatan dari kedua fraksi tersebut. Namun saya melihat ada yang lebih substansial lagi sebagai pertimbangan pendirian sekolah miskin itu. Sekolah bagi siswa dari keluarga miskin ini tidak akan menyelesaikan permasalahan. Saya justru melihat rencana pendirian sekolah ini berpotensi melahirkan permasalahan baru di dunia pendidikan di Purbalingga.

Keberadaan sekolah ini kelak, justru akan melahirkan kelas sekolah baru, sekolah bertaraf dhuafa (SBD). Meskipun gratis, namun siapapun yang sekolah di sini akan merasa minder. Siswa sekolah ini akan merasa menjadi tontonan di tengah euforia pendirian sekolah bertaraf internasional (SBI).

Jika siswa SBI merasa dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang telah mereka beli, sebaliknya siswa SBD harus berterima dengan fasilitas yang ada. Saya tidak yakin jika pemerintah akan menyediakan fasilitas yang setara atau setidaknya memadai sesuai dengan standar pelayanan minimal pendidikan.

Alih-alih SBD dapat mengurangi permasalahan pendidikan, justru melahirkan permasalahan baru. SBD akan menimbulkan disparitas kelas sosial baru di bidang pendidikan di Purbalingga. Jika SBI merentang jarak membentuk kelas elit, maka SBD merentang jarak sosial membentuk kelas bawah, rendah.

Hasilnya, kedua sekolah ini menimbulkan dua wajah kontras dunia pendidikan di Purbalingga. Pendek kata, ditengah permasalahan rendahnya kualitas pendidikan, sekolah ini kian menyuramkan dan meruyamkan anatomi pendidikan kita.

Cermin Retak

Sebenarnya, permasalahan utama dunia pendidikan di Purbalingga adalah rendahnya kualitas. Program sertifikasi guru jalur penilaian portofolio belum terbukti berpengaruh pada peningkatan profesionalitas guru. Ini terjadi lantaran tidak berjalannya supervisi pendidikan yang ketat. Guru bersertifikat tidak pernah dievaluasi.

Di sisi lain, program PLPG yang tengah digulirkan juga masih mengandung tanda tanya besar. Apakah hasilnya cukup efektif merubah dan meingkatkan kualitas pendidikan atau tidak sama sekali?

Sementara program RSBI dan SBI yang mendapat konsentrasi dana dari pemerintah pusat juga belum terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan. Keberadaan dua sekolah ini belum menjawab permasalahan tersebut. Sekolah ini justru telah menciptakan kelas baru dengan kulaitas yang sama dengan sekolah lainnya.

Jika RSBI dan SBI yang mendapat talangan dana cukup besar dari pemerintah pusat belum menjamin peningkatan kualitas pendidikan, bagaimana dengan SBD yang hanya didanai oleh pemerintah daerah? Apalagi, istilah miskin selalu berkonotasi negatif yaitu kekurangan dan kebodohan.

Akses

Sebenarnya jika permasalahannya adalah minimnya ruang akses pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin, maka penyelesaiannya sangat sederhana. Masih ada belasan SMK/SMA swasta di Purbalingga yang kekurangan murid, lantaran kalah bersaing dengan sekolah negeri. Sekolah-sekolah swasta siap menampung mereka tanpa embel-embel siswa miskin.

Jika permasalahannya adalah dana, maka pemerintah dapat membuat regulasi penyaluran beasiswa yang lebih efektif. Siswa-siswa miskin diseleksi oleh pemerintah, kemudian mereka dititipkan pada sekolah swasta yang lokasinya paling mudah dijangkau.

Dengan pola ini saya milihat ada tiga keuntungan. Pertama, sekolah swasta terbantu dalam perolehan siswa baru. Kedua, beasiswa yang disalurkan dapat dikelola dengan lebih efektif. Ketiga, siswa miskin dapat memilih sekolah terdekat yang dapat diakses dengan biaya paling murah.

Sesungguhnya, masih banyak pertanyaan ihwal rencana pemerintah ini. Bagaimana dengan guru yang mengajar di sekolah miskin ini, apakah mereka terdiri dari para sukarelawan atau guru yang memang harus digaji? Lantas bagaimana biaya operasional sekolah ini?

Saya yakin, pemerintah daerah pada dasarnya memiliki itikad yang sangat mulia untuk menyelesaikan permasalahan pada bidang pendidikan. Saya juga yakin, pemerintah daerah tidak akan menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Masyarakat menunggu jawaban pemerintah atas berbagai pertanyaan tersebut.

Teguh Trianton, warga Purbalingga

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.