13 April 2011

Purbalingga Dalam Rekaman Sinema

Share

Purbalingga Dalam Rekaman Sinema

Oleh Teguh Trianton


Di luar, matahari mulai menua, helai-helai air yang terurai dari langit terus saja memanjang. Sementara di dalam, lampu-lampu tak menyala, daun-daun jendela dan pintu merapat pada dua sisi kusen penyangganya. Di ruang berukuran sekitar 8 x 5 meter itu, hanya tampak kilatan dan sorotan cahaya dari sebuah LCD projektor. Puluhan kepala manusia sesekali tersiram pantulan cahaya dari sebentang kain putih yang memanjang di dinding. Kepala-kepala milik remaja usia belia itu tampak membentuk siluet mendongak 45 derajat. Berpasang-pasang mata sesekali berkedip reflek dan lembut.

Pemandangan ini dapat kita temui saban hari Sabtu sore mulai pukul 16.00 sampai dengan selesai, di sebuah rumah di Jalan Achmad Nur No. 1 Kauman Piurbalingga. Rumah di pojokan jalan sebelah alun-alun Purbalingga ini kerap menjadi saksi pemutaran rekaman-rekaman lensa kamera yang dibidikan oleh para remaja pelajar Purbalingga.

Sebuah acara nonton bareng dan diskusi ringan bertajuk Bioskop Pojokon menjadi media efektif penciptaan tanda bahwa pelajar di Kabupaten Purbalingga kreatif dan cerdas. Ini tergambar dengan hidup lewat karya-karya sinematografi yang telah mereka buat. Para sineas muda Purbalingga yang terwadahi dalam sebuah lembaga nirlaba, Cinema Lover Community (CLC) telah menunjukan dedikasinya bagi kota tercinta.

Dengan sudut pandang cerdas dan tentu saja berbeda dari cara pandang sebagaian besar masyarakat Purbalingga, para film maker ini menuturkan secara visual pada kita tentang kondisi-kondisi riil pembangunan Purbalingga.

Secara kasat mata, pembangunan di wilayah selatan (kota) Kabupaten Purbalingga memang berhasil. Pemandangan di wilayah kota mampu menerjemahkan kondisi ideal wajah sebuah kota yang terus bergerak maju. Usai membangun (memindah) pasar kota ke lokasi baru, pemerintah setempat membangun taman kota di bekas lokasi pasar.

Keberhasilan ini dianggap sebagai salah satu kado terindah dari pemerintah bagi masyarakat Purbalingga. Itu merupakan gambaran terkini kondisi Purbalingga dalam bingkai perayaan hari jadi Purbalingga dari sudut pandang pemerintah setempat.

Gambar Film

Gambaran benda-benda mati tentang Purbalingga di atas tentu saja berbeda, bahkan kontras dengan gabar hidup yang berhasil diabadikan oleh sejumlah pekerja seni -industri kreatif- di Purbalingga. Lihatlah enam judul film pendek karya sineas muda Purbalingga yang sengaja dibuat sebagai kado hari jadi Purbalingga ke 179 tahun 2009 dan lima film kado ulang tahun ke 180 tahun 2010 lalu.

Dengan sudut pandang berbeda, enam sutradara muda yang tergabung dalam wadah Cinema Lover Community (CLC) berhasil mendokumentasikan wajah lain Purbalingga. Hasil karya mereka patut dipertimbangkan dan dijadikan bahan inisiasi serta melihat bagaimana seharusnya pembangunan Purbalingga di masa datang.

Buruh

Dalam film “Trima Hidup Apa Adanya”, Bowo Leksono sang sutradara mencoba menyuguhkan narasi pendek tentang nasib seorang buruh pabrik pengolah rambut terbesar di Purbalingga. Trima adalah nama seorang buruh dari sekitar 50 ribu buruh yang bekerja di perusahaan dengan penanam modal asing (PMA).

Meski ia bekerja di perusahaan PMA, namun bayaran yang diterima belum setara UMK yang sekarang berlaku. UMK Purbalingga tahun 2009 sebesar Rp 618.750, sementara gaji yang diterima buruh pabrik di Purbalingga berkisar Rp. 250.000 hingga Rp 500.000. Sementara itu, survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tahun 2010 ditetepkan sebesar Rp 803.000 dengan UMK sebesar Rp 695.000.

Padahal mereka masih harus menanggung ongkos transportasi setiap hari, biaya sekolah anak dan biaya hidup keluarga. Namun Trima menerima nasib itu apa adanya, seperti ribuan perempuan pekerja lainnya, yang menjadi tulang punggung keluarga.

Dengan durasi 19,32 menit, Bowo mampu memadatkan visualisi nasib ribuan buruh di Purbalingga. Trima hanyalah satu contoh gambar karikatur. Betapa predikat Kabupaten Proinvestasi belum mampu menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Segamas

Sementara itu, tiga sutradara muda lainnya mencoba mengangkat satu tema yang sama. Dengan angel berbeda, ketiganya seperti menyusun tiga episode berseri kisah tragik pedagang di Pasar Segamas dan keriuhan jalan raya di Purbalingga.

Film ‘Segamas’ menjadi film terpanjang dalam kompilasi film bertajuk ‘Kado Buat Kota Tercinta’. Segamas mengangkat kisruh seputar relokasi pasar lama ke lokasi baru yang sekarang. Dalam film berdurasi 26,37 menit ini, Nanki Nirmanto –sutradara- berhasil menyuguhkan perselisihan antara pedagang dengan disperindagkop selaku pemegang kebijakan pengelolaan pasar.

Dilingkapi petikan pernyataan anggota DPRD dan Kepala Disperindagkop di sela-sela celoteh polos par pedagang, membuat seri dokumenter ini mirip liputan khusus seputar Segamas. Secara tegas film ini menunjukan bahwa pemindaan pasar dan pengelolaannya lebih banyak merugikan pedagang. Semenatara disperidagkop berkeras semua telah sesuai desain dan melalui kajian mendalam.

Serial ‘Segamas’ berlanjut dengan film ‘Daging Yang Tak Laku’. Film ini adalah satu fragmen garapan sutradara Shinta yang bertutur tentang nasib pedagang daging ayam yang mengalami penurunan omzet penjualan akibat relokasi pasar dan letak kios yang kurang strategis.

Episode ketiga adalah film mini “Uwis Sesek” sutradara Anargya Uswan. Film ini mendokumenterkan kondisi carut-marut lalulintas di Kota Purbalingga. Kepadatan kendaraan dalam film ini mencerminkan rendahnya kesadaran berlalu-lintas dan manajemen jalan raya.

Pendidikan dan Kesehatan

Dua film kado lainya adalah ‘Curug oh Curug’ sutradara Elma sulistiya Ningrum dan ‘Harapan Novita’ besutan Aris Prasetyo. Curug oh Curug berkisah tentang nasib sebuah objek wisata alami berupa air terjun yang terbengkalai di tengah gencarnya pembangunan objek wisata imitasi.

Sedangkan ‘Harapan Novita’ bertutur tentang kisah hidup seorang pelajar di sebuah SMP kecil di desa terpencil yang memiliki cita-cita menjadi dokter. Cita-cita Novita ini dilatar belakangi oleh kondisi perekonomian penduduk desa yang berada di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak memiliki cadangan biaya hidup untuk urusan kesehatan.

Bahkan untuk bersekolah, para pelajar di desa harus menempuh perjalanan jauh tanpa sepatu lantaran jalan yang dilalui penuh dengan lumpur. Sementara untuk belajar di rumah pada malam hari, anak-anak tak mendapat penerangan yang cukup.

Sementara itu visualisasi lewat lima karya sineas muda Purbalingga dalam kompilasi film pendek bertajuk “Kado buat Kota Tercinta 2010”menjadi bentuk lain dari rasa cinta, kepedulian dan kepekaan para pemuda terhadap kota tercinta.

Jalan Kaki

Film berjudul “Jalan Kaki Lima” garapan sutradara Asep Triyatno misalnya. Film berdurasi 06 menit 46 detik ini secara banal memberikan gambaran nyata betapa semprawutnya trotoar jalan di jatung kota Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga. Dengan kamera tangan, Asep membidik wajah trotoar jalan yang digunakan tidak semestinya.

Trotoar di jantung kota kecamatan ini dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang berjajar tidak karuan. Tak hanya itu, trotoar yang sebenarnya dibuat khusus untuk para pejalan kaki ini kerap dijadikan sebagai tempat parkir, sehingga pejalan kaki tidak kebagian tempat.

Sebenarnya bukan tanpa sadar pedagang menyerobot hak pejalan kaki untuk tempat berdagang. Seluruh pedagang merasa telah memiliki hak pakai lantaran telah membayar uang retribusi pada petugas. Artinya, karut marut trotoar jalan tersebut tercipta atas ijin petugas.

Dengan film ini Asep tengah memberikan kritik pedas pada pemerintah setempat, bahwa di tengah puja-puji keberhasilan pembangunan Purbalingga, ternyata masih ada hal krusial yang ada di depan mata yang luput dari perhatian. Lantaran fenomena yang sama juga jamak terjadi di trotoar jalan kota Purbalingga yang berada di sekitar pusat kekuasaan.

Sementara itu sutradara Bowo Leksono dengan dokumenter bertajuk “Dewi-Dewi” mencoba mengetengahkan wajah dunia pendidikan di Purbalingga yang kondisinya mencengangkan. Dokumenter berdurasi 7,16 menit ini memvisualisasikan belasan anak SD di Desa Tanalum Kecamatan Rembang yang harus berjalan puluhan kilometer dari rumahnya untuk sampai di sekolah. Tak hanya itu, anak-anak ini masih harus menghadapi resiko terberat berupa luapan air di sungai.

Kondisi ini tak dapat dihindari. Sebuah sungai dengan lebar sekitar 20 meter harus diseberangi dengan turun ke sungai, lantaran tak ada jembatan penghubung. Nasib paling menyedihkan adalah ketika hujan turun. Mereka terpaksa bolos sekolah akibat air meluap sehingga tak dapat diseberangi.

Perjuangan anak-anak yang tervisualisasi dan terdokumen dalam film ini setara dengan perjuangan tokoh Lintang pada film Laskar Pelangi. Jika Lintang menempuh jarak yang sangat jauh dengan sepeda onthel dan beresiko dihadang buaya. Anak-anak di Desa Tanalum harus berjalan kaki dan sesekali dihadang bahaya banjir.

Yang Terpinggirkan

Dua film lain yaitu “Sang Penakluk Waktu” garapan Ayun Endra Yanto dan “Rumahku Bukan Istanaku” besutan sutradara Nanki Nirmanto menggambarkan masih ada masyarakat Purbalingga yang hidup marginal. Ayun dengan filmnya mengisahkan kehidupan sosok penjual jamu tradisional bernama Jarimin yang nasibnya tergerus perkembangan zaman dan modernisasi.

Bisa jadi, Jarimin adalah satu-satunya pembuat dan penjual jamu tradisional yang masih hidup di Desa Sumampir Kecamatan Rembang. Tiap hari, lelaki berusia 70 tahun ini harus memetik tanaman obat untuk diracik menjadi jamu. Tak hanya itu, ia masih harus memikul dan berjalan kaki ke pasar.

Potret hidup manusia marginal yang digarap Nangki lebih mengenaskan lagi. Video berdurai 06 menit 18 detik ini mengangkat tokoh Mbok Sumini sebagai lakon. Janda miskin asal sebuah desa di Kecamatan Rembang ini harus rela hidup serba kekurangan di sebuah gubug reot yang lebih pantas sebagai kandang ternak.

Meski video ini terkesan mengeksploitasi kemiskinan sebagai tontonan, namun apa yang disuguhkan merupakan kondisi riil yang harus segera ditanggapi oleh pemerintah setempat. Boleh jadi, masih banyak rakyat kecil yang senasib dengan kisah hidup Mbok Sumini. Video ini juga mengingatkan kita pada program stimulasi pemugaran rumah keluarga miskin (PSPR GAKIN) yang pernah dicanangkan oleh Bupati terdahulu.

Nasib Buruh

Kado kelima berjudul “Mata Buruh”. Film dokumenter berdurasi 8 menit 55 detik ini disutradarai Nanda Dian Sari. Ia mencoba membidik nasib buruh pabrik pengolah rambut bersekala internasional yang hidup dalam resiko kebutaan.

Resiko ini harus ditanggung oleh puluhan ribu perempuan yang bekerja mengolah rambut menjadi bulu mata palsu dan aksesoris wanita lainnya. Dalam sehari, para pekerja ini minimal harus berhadapan dengan ribuan helai rambut yang harus ditata dan dianyam satu persatu selama lebih dari 9 jam.

Resiko kebutaan menghantui mereka lantaran proses penganyaman rambut dilakukan dengan mata telanjang. Tak ada alat bantu penglihatan apapun yang digunakan untuk meminimalisir resiko tersebut. Di sisi lain, Nanda juga mengangkat persoalan pengupahan yang diberlakukan oleh perusahaan.

Secara umum kelima film yang menjadi kado 180 tahun usia Purbalingga ini merupakan bentuk kritik, sindiran, sekaligus masukan bagi pemerintah setempat tentang berbagai persoalan yang harus segera dibenahi.

Terlepas dari persoalan teknis pengambilan gambar dan prosesi editingya, seluruh film dokumenter tersebut, layak dijadikan penyeimbang untuk menghitung ulang keberhasilan pembangunan di Purbalingga.

Film-film ini sesungguhnya tengah membantu pemerintah memetakan permasalahan riil yang dihadapi masyarakat Purbalingga. Sehingga, siapapun yang akan memimpin Purbalingga ke depan, memiliki gambaran nyata tentang apa yang harus dilakukan, sesuai dengan kehendak rakyat.

Teguh Trianton, Penikmat Film Purbalingga

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.