27 Agustus 2010

Politik Bahasa Banyumas

Share

Ancas Politik Bahasa Banyumas


Bahasa merupakan identitas sebuah entitas masyarakat yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Mempertahankan eksistensi sebuah bahasa berarti pula mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya.

Banyumas adalah sebuah entitas sosial politik sekaligus etnis budaya yang memiliki bahasa daerah yang sering disebut dialek ngapak sebagai identitasnya. Penutur bahasa Banyumas setidaknya tersebar di lima wilayah kabupaten. Yaitu; Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen (Barlingmascakeb). Sehingga bahasa Banyumas menjadi indentitas budaya masyarakat di wilayah tersebut.

Kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas hanya dapat dijelaskan ketika bahasa Banyumas masih ada. Jika bahasa Banyumas telah musnah, maka musnah pula kearifan lokal warisan luhur yang terkandung dalam masyarakat tersebut.

Sugeng Priyadi (2000) mengungkapkan bahwa jatidir masyarakat Banyumas berada diantara dua kutub, yakni Bima dan Bawor dengan cablaka sebagai karakter inti. Karakter masyarakat Banyumas pada satu sisi menujukan sifat-sifat kebimaan, yaitu tegas, lugas, dan kesatria. Pada sisi lain lebih mencerminkan Bawor dengan polah tukang guyon.

Tuturan cablaka atau blakasuta atau thokmelong merupakan karakter asli orang Banyumas, yang menedepankan keterusterangan. Orang Banyumas asli jika bertutur kata selalu thokmelong (tanpa basa-basi), sehingga dari luar akan tampak tidak memiliki unggah-ungguh (etika), lugas, dan terkesan kurang ajar.

Cablaka, blakasuta, atau thokmelong adalah kearifan lokal yang hanya dapat dijiwai jika diungkapkan dengan bahasa asli Banyumas. Sehingga, tanpa dialek ngapak maka karakteristik kebanyumasan tersebut menjadi luntur.

Keberadaan bahasa daerah (Banyumas) ini secara normatif dilindungi oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-undang ini mengatur tentang kebahasaan dalam satu paket dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

Pada pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Dengan demikian pada kasus bahasa Banyumas, tentu saja pemerintah daerah di lima wilayah sebaran penutur dialek ngapak itulah yang secara normatif bertanggungjawab untuk mempertahankan keberadaannya. Apalagi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah juga memberikan amanat kepada pemerintah daerah untuk melestarikan nilai-nilai sosial budayanya sebagai identitas masyarakatnya.

Politik Ancas

Terhitung sejak 6 April 2010 Yayasan Sendang Mas berinisiatif menerbitkan majalah berbahasa Banyumas. Majalah bertajuk Ancas Kalawerta Penginyongan ini terbit dua mingguan dengan tampilan eksklusif bahasa dialek ngapak atau basane wong penginyongan.

Ancas digawangi oleh budayawan Ahmad Tohari. Ia adalah wong Banyumas yang selama ini sering mengungkapkan kegelisahannya perihal resiko musnahnya basa banyumasan.

Pada tahun 2001, melalui sebuah kolom di media ini (SM, 11/02/2005) Kang Tohari menuliskan bahwa jika dibiarkan begitu saja maka bahasa banyumas yang notabene merupakan bahasa ibu yang sekaligus menandai eksistensi etnis dan budaya Banyumas akan kehilangan penuturnya.

Hilangnya basa banyumasan merupakan ancaman akan terhapusnya etnik penginyongan. Kesimpulan ini sejalan dengan ungkapan Ferdinan de Saussure yang menyatakan bahwa keberadaan sebuah etnis terkait erat dengan langue yang dipakai.

Jika Edi Sedyawati (2007) menyebut bahwa teks, buku sastra berbasa daerah menjadi materi yang dapat dikodifikasikan dalam rangka perencanaan bahasa. Maka Ancas menjadi ruang publik dan ruang politik bahasa Banyumas yang strategis.

Sambutan antusias dari pembaca dan dukungan dari pemerintah setempat atas terbitnya Ancas menjadi penanda akan terbukanya ruang perencanaan politik bahasa Banyumas yang mapan. Apalagi pelaksanaan perencanaan bahasa telah dijamin sepenuhnya dengan payung hukum UUD 1945 Pasal 32 ayat 2.

Lembaga Bahasa

Sementara itu pasal 42 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009, menjelaskan; pengembangan, pembinaan, dan pelindungan –bahasa daerah- dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.

Jika kita tengok bunyi pasal di atas, maka saya melihat penerbitan Ancas dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan membentuk sebuah lembaga kebahasaan di Banyumas. Dengan berdirinya lembaga sejenis balai bahasa ini, maka secara institusional peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam rangka melindungi, membina dan mengembangkan bahasa Banyumas lebih sistematis dan terencana.

Secara politik, lembaga ini juga dapat bersinergi dengan dinas pendidikan di daerah kabupaten atau sekolah-sekolah untuk membuat formulasi kurikulum pembelajaran bahasa Banyumas. Sebab, selama ini lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di wilayah eks karesidenan Banyumas hanya memasukan pelajaran Bahasa Jawa –standar- sebagai muatan lokal.

Secara politis, masuknya basa banyumasan dalam materi pelajaran di sekolah akan meningkatkan harkat bahasa ibu orang Banyumas asli. Di sini juga akan terlihat kesejajaran peran dan fungsi bahasa Banyumas dengan bahasa daerah lainnya yang sudah menjadi bagian dalam dunia pendidikan.

Dengan demikian, kecemasan akan musnahnya penggunaan bahasa Banyumas dapat diminimalisir. Setidaknya, generasi muda penerus dan pewaris kekayaan budaya dan kearifan lokal Banyumas tidak malu menggunakan bahasa ibunya sendiri baik dalam ragam lisan maupun tulisan.

Teguh Trianton, Peneliti Beranda Budaya Banyumas

Disiar Pertama: Suara Merdeka, 26/08/2010

Foto-Foto: Facebook Majalah Ancas

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.