29 Juni 2010

Catatan FFP 2010

Share


PERHELATAN Festival Film Purbalingga (FFP) 2010 baru-baru ini telah mengantar film fiksi berjudul ’’Endhog’’ (’’Telor’’) sutradara Padmashita Kalpika sebagai film terbaik. Melalui seleksi yang ketat, tiga juri ’’terpaksa’’ memilih film produksi sineas SMA N 2 Purbalingga ini sebagai yang terbaik.

Juri terpaksa memilih sebab secara umum kualitas film pelajar Banyumas tahun ini cenderung menurun, dibanding film peserta festival tahun sebelumnya. Penurunan juga terjadi pada sisi kuantitas. Tahun 2009 ada 10 judul film kategori fiksi yang jadi nominator, tahun ini hanya 8 judul film yang lolos seleksi dewan programer.

Sebenarnya tema yang ditawarkan pada FFP 2010 sangat sederhana, ’’Meliat Kita’’. Artinya, peserta —pelajar di Eks Karesidenan Banyumas— diberi keleluasaan untuk eksplorasi kearifan budaya lokal dan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas.

Namun tema yang sederhana ini malah hampir tak terbaca sama sekali. Sebagian besar film fiksi yang lolos seleksi ternyata gagal memvisualisasikan pesan moral dalam bingkai narasi peristiwa kecil yang ada di masyarakat.

Hasil akhir proses kreatif sineas muda menunjukan gejala akut sindrom sinetronis kronis. Beberapa film yang sesungguhnya berupaya ’’melihat kita’’ dengan mengangkat kearifan lokal menjadi tak berdaya oleh virus sinetronis kronis.

Film berjudul ’’Bunyi’’ misalnya. Karya sineas pelajar SMK Bakti Purwokerto ini mulanya hendak mengangkat khazanah budaya masyarakat tani yang nyaris punah. Melalui hobi fotografi yang diperankan, tokoh Radit mengajak penonton untuk mengingat tradisi lesungan.

Yaitu sebuah permainan klotekan atau tlektekan dengan cara memukulkan ujung antan ke tepi bagian dalam lesung sambil menumbuk padi.

Namun bunyi pesan moral ini justru tenggelam oleh sebagian besar scene sinetronis yang klise pada keseluruhan film. Kisah asmara Radit yang sinetronis mengalahkan bunyi pesan yang dimaksudkan.

Sindrom sinetronis mewabah pada sebagaian besar film lain. Ini terlihat pada film berjudul ’’Lupa’’ (SMK N 1 Purwokerto), ’’Sepatu Lawan Jago’’ (SLJ) dan ’’Montor apa Bebek’’ (’’MaB’’) dari SMA N 1 Cilacap, ’’Menuju Titik Terang’’ (’’MTM’’) dari SMA N 1 Purbalingga, dan ’’Aku Bukan Malin Kundang’’ (’’ABMK’’) dari SMK N 1 Purbalingga.

Selain wabah sinetronis, film pelajar Banyumas juga mengidap sindrom hantu ala film horor Indonesia. Film ’’Lupa’’ misalnya, dengan vulgar mengkliping puluhan hantu dari scene film horor yang beredar di bioskop dan dipadatkan jadi satu pendek.

Film ’’SLJ’’ dan ’’MaB’’ sebenarnya hendak menyampaikan pesan tentang kehidupan pelajar dari keluarga miskin dalam pergaulan sosial yang lebih kaya. Namun pesan ini juga klise lantaran padatnya tuturan dan logika film yang sinetronis.
Sulit Diterima Pada ’’MTM’’, materi yang diangkat juga tertelan scene sinetronis. Metafora visual yang dibangun terlalu hiperbolis sehingga logika narasi sulit diterima. Film itu hendak bercerita tentang anak yang hobi membaca dan menulis sastra tapi ditentang oleh orang tua.

Film ’’AMBK’’ sangat sederhana, bercerita tentang pelajar yang aktif ekstrakurikuler teater. Kehidupan pelajar ini terpengaruh karakter tokoh yang diperankan dalam pertunjukan teater. Sayangnya eksekusi ceritanya juga terkena virus sinetron.
Dua film lain yang cukup diunggulkan adalah film ’’Endhog’’ (SMA N 2 Purbalingga), dan ’’Ling-Lung’’ (SMA N Bobotsari). ’’Endhog’’ diunggulkan karena pesan moral yang hendak disampaikan.

Ide film ini sederhana, bercerita tentang semangat siswa Kejar Paket A dalam kegiatan eksperimen. Dengan keluguan dan kebodohannya, dua siswa sekolah penyetaraan ini berusaha membuktikan bahwa binatang mamalia yang memiliki daun telinga berkembang biak dengan beranak, dan yang tidak berdaun telinga bertelor.

Setali tiga uang, ’’Ling-lung’’ juga menawarkan komedi. Diceritakan seorang pelajar yang sangat pelupa, berjibaku melawan ’’penyakit’’ pikunnya. Secara teknis, film ini sangat unggul. Tuturan visual yang disuguhkan sangat memadai sebagai sebuh film. Namun ending -nya mudah ditebak, dan pesan yang disampaikan terlalu umum.

Secara umum, menurunnya kualitas film pelajar ini erat kaitanya dengan sistem pendidikan di sekolah. Selama ini praktik pendidikan masih mengedepankan hapalan dari pada penggalian ide dan logika kreatif siswa. (10)

— Teguh Trianton, periset Beranda Budaya Banyumas, Juri Festival Film Purbalingga
Sumber: Wacana Suara Merdeka, 28 Juni 2010

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.