Surat dari hujan
hujan melompat
mendesah di daun telingaku
kiranya memibisakan kabar
tentang rindu
tapi
yang terucap malah kilat
“tahukah? kau telah diduakan”
tak sempat aku berucap
tubuhku telah basah
Purwokerto, 2009
Surat tengah hari
aku seperti kehilanganmu
sesaat sebelum aku benar-benar mengenalimu
di antara tumpukan buku, dan kalender layu
aku seperti menemukan wangi tubuhmu
yang tertinggal di tumpukan baju
yang menyihirku
segera membasuh lamunanku
Purwokerto, 2009
Surat dari hulu
banjir,
sungai-sungai kering itu
tak pernah berhenti
mengalirkan batu-batu ranggas
yang bermuara di dadaku
Purwokerto, 2009
Surat perseteruan
garam
apakah kau alpa membawa garam
sehingga perseteruan
hanya menyisakan bukit-bukit hambar
di dada
Purwokerto, 2009
Dari segelas kopi
membacamu,
aku menemukan endapan
senyawa kafein
yang membuatku memuja kantuk
pada gelasmu
kopi tak benar-benar penuh
tapi jua tak pernah setengah-setengah
kecuali mata telagamu
yang kerap memandikan takdirku
kau masih terus mengisinya,
sendiri, hingga penuh terisi
menungguku menikmatimu
atau menumpahkannya
tandas di dada
Purwokerto – Solo, 09 September 2009
Perjamuan
dua kursi kosong bersemuka
bersitatap tanpa meja
apalagi bunga
di depan pintu
mukaku merah batu
malu-malu kupesan segelas waktu
lalu kau bertanya;
“benarkah ini untukku?”
bukan, ini bukan untukmu
tapi untuk kau dan aku
Purwokerto, Juli 2009
Pagi usai gerimis
selamat pagi,
sehelai embun jatuh
dari runcing daun bambu
yang tumbuh di ujung alismu
lalu pecah, meniru lamunanku
tentang gerimis yang riwis
bercampur amis bertumpuk
diantara ribuan tubuh
dan rumah gadang yang runtuh
pagi usai gerimis
aku tak begitu yakin
apakah aku benar-benar ikut sedih
tetapi pagi memang riwis
dan ranah minang jadi amis
pagi usai gerimis
aku kita tunaikan jamaah tangis
Purwokerto, 2009
0 Comments:
Post a Comment