28 Juli 2008

Sertifikasi itu lagi

Share

Sertifikasi Guru Tak Menunjang Mutu Pendidik

Oleh : Teguh Trianton

Program sertifikasi guru dalam jabatan agaknya sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Meski mengundang dan mengandung polemik namun program yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ini terus bergulir. Dengan dalih peningkatan kualitas pendidikan, berbagai temuan kecurangan dan kelemahan dalam proses uji sertifikasi melalui penilaian portofolio tak menyurutkan langkah pemerintah untuk terus menggulirkan program ini.

Program ini pertama digulirkan pada tahun 2006, merupakan implementasi pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa, pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru (dan dosen) adalah tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Komitmen pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ini kemudian ditegaskan lagi dengan Peraturan menteri pendidikan nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 yang secara khusus mengatur tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan.

Peraturan inilah yang menjadi kunci pokok ‘penjamin’ kualifikasi seorang guru jika lulus ujian nanti. Di sini dijelaskan bahwa uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik dilakukan dalam bentuk portofolio (pasal 2 ayat 2). Adapun komponen yang dinilai meliputi kualifikasi akademik (skor 525), pendidikan dan pelatihan (skor 200), pengalaman mengajar (skor 160), rencana dan pelaksanaan pembelajaran (skor 160), penilaian dari atasan dan pengawas (skor 50), prestasi akademik (skor 160). Kemudian karya pengembangan profesi (skor 85), keikutsertaan dalam forum ilmiah (skor 62), pengalaman organisasi bidang kependidikan dan sosial (skor 48), dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan (skor 50). Total skor tertinggi adalah 1.500, dan skor minimal untuk lulus adalah 850 atau 57 persen dari skor maksimal.

Melihat komponen penilaian portofolio tersebut, saya percaya bahwa mereka yang lulus uji sertifikasi mestinya adalah benar-benar guru yang berkualitas dan profesional. Sehingga berhak mendapatkan penghargaan atau reward berupa tunjangan profesional sebesar satu bulan gaji pokok.

Namun pada kenyataanya, iming-iming reward ini justru menjebak guru terjatuh pada formalitas semu, dan mengabaikan tujuan awal sertifikasi. Saat ini banyak guru yang hanya mementingkan aspek administrasi semata, dan mengabaikan sisi profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Mereka yang telah dinyatakan lulus uji sertifikasi tidak ada bedanya dengan guru yang belum disertifikasi.

Tidak ada perbedaan yang signifikan dari keduanya, baik dari cara pengelolaan kelas, metode tutorial, maupun dari segi kualitas guru dalam PBM. Padahal konon mereka yang belum lulus pada tahap asesmen portofolio diwajibkan mengikuti serangakain diklat. Namun pada akhirnya dari sisi kualitas tetap saja tidak ada perbedaan yang signifikan.

Perbedaan mencolok diantara keduanya (Guru bersertifikat dan belum bersertifikat) hanya terletak pada ‘predikat’ atau embel-embel yang melekat pada guru bersertifikat dan impian bakal mendapat tunjangan profesional. Sehingga yang muncul kemudian sejenis arogansi. Mereka yang telah bersertifikat merasa begitu yakin telah berhak mendapat tunjangan profesi, sekalipun secara kualitas tak jauh beda dengan guru yang tidak bersertifikat.

Parahnya, fenomena yang terjadi kemudian adalah, guru bersertifikat gencar menagih janji pemerintah untuk segera mencairkan tunjangan tersebut. Tentu saja ini sangat wajar, sebab selain mereka telah bersusah payah memenuhi portofolio, pemerintah juga telah berjanji memberikan reward.

Lantas, yang tidak wajar adalah, tatkala mereka lupa bahwa reward tersebut sebenarnya hanya sejenis injeksi stimulasi atau perangsang agar guru selalu berupaya meng-upgrade- kualitas dan profesionalitasnya. Tanpa upaya peningkatan kualitas SDM yang timbul dari dalam diri guru, mustahil program sertifikasi guru melalui asesmen portofolio ini berhasil menciptakan dan meningkatkan pendidikan yang berkualitas.

Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, asesmen portofolio justru telah melahirkan fenomena baru di kalangan guru, seperti demam mengikuti diklat atau seminar. Di sisi lain, portofolio telah memberikan andil besar pada terciptanya tertib administrasi di kalangan guru. Apa yang saya sebut terahir ini merupakan ekses positif, mengingat selama ini meskipun guru termasuk golongan intelektual, namun sekaligus golongan yang kerap mengabaikan administrasi (seperti mengisi agenda kelas, membuat program kerja sampai lupa mendokumentasikan hasil kerja).

Yang lebih ‘menyedihkan’ lagi adalah, tatkala tertib administrasi ini hanya sebatas ‘tag line’ atau semboyan saja. Inilah yang kemudian membuat Rektor Universitas Negeri Malang (UNM) Prof Suparno yang juga Penanggung jawab sertifikasi sub rayon 15 UNM melancarkan kritik tajam dengan mengusulkan agar penilaian portofolio dihapus.

Menurutnya, penilaian portofolio justru telah memperburuk dan mencoreng wajah pendidikandi Indonesia. Sebab, dalam prakteknya untuk memenuhi asesmen tersebut, sebagian besar guru telah menghalalkan segala cara. Termasuk memanfaatkan jasa para "penolong". Mereka adalah penjahat portofolio, pengedar ijazah palsu, pembuat laporan palsu, penyedia dokumen plagiat sampai pengganda dokumen. (www.jawapos.co.id). Sebagai gantinya, sertifikasi dikembalikan pada usulan semula, yakni berbasis akademik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apa yang dilontaran Suparno ini sebenarnya bukan barang baru, sebab dikalangan guru sendiri fenomena seperti itu telah menjadi rahasia umum. Bahkan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Baedhowi menyatakan bahwa beberapa Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) menegarai sekitar 13 ribu sertifikat palsu yang digunakan sebagai syarat untuk mengikuti uji sertifikasi guru (Republika Selasa, 03 Juni 2008). Sehingga muncul gagasan agar proses sertifikasi tersebut ditinjau ulang.

Bukan tidak mungkin apa yang disampaikan Dirjen PMTK tersebut merupakan temuan awal. Artinya masih banyak bentuk-bentuk kecurangan lain yang belum terungkap. Jika demikian adanya, sekali lagi; sertifikasi tidak menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Wallahu’alam

Purbalingga, 05 Juni 2008

*) Teguh Trianton, Penyair, guru SMK Widya Manggala Purbalingg




| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.