31 Juli 2008

Narasi buku satu

Share

Sajak-sajak Teguh Trianton

Narasi buku satu

+ Kitab perjanjian itu telah melingkar di telunjuk kiriku. Sejurus angin lalu, telah kububuhkan penyesalan, meneguhkan norma yang membelitku, mengharamkan wangiku berbagi mawar.

- Bukankah nafasmu tersangkut ribuan puisi?

+ Ya, tetapi, ya, bukankah sesalku terlindungi. Sebab telunjuk yang kanan menumpu ikatan delapan penjuru arah mata angan pada lima kunci sorga.

Dan kau yang memapahku pada kesetiaan waktu, menemani bulir, mengeja rindu tanah retak yang menjadi basah oleh tengadah telunjuk kanan, saat rakaat penutup menghempaskan nafasnya.

- Kita masih saja terdiam dalam percakapan batin, saling melafal rasa, menusuk teduh mata. Melingkarkan lengan erat-erat pada pinggang sejarah, agar tak satu pun huruf lepas dari biografi ini.

***

+ Hawa, jangan salahkan aku yang menggantung lamunan pada rapuh kelir jiwa, jika sekedar bayang wajahmu pun tak kau ikhlaskan untuk dibingkai dengan sajak-sajak ini.

- Lebih dari apa, kau bukanlah perupa yang pandai mengukir cinta dengan kata-kata.

+ Lebih dari apa, jangan salahkan aku yang melukis kangen pada lembaran hijau daun kesunyian di tengah jazirah malam beribu purnama.

***

Tahajud menekuk lututku, air mata memercik bara yang menggenang dalam dada, padam, sejarahku terurai rokaat demi rokaat, yang belum sempurna, yang compang-camping, yang terberai kujilid dalam witir yang ganjil. Mata yang berembun menunduk di pusara yang subuh.

***

+ Hawa, karena kau bunga ijinkan aku menyuntingmu dengan persembahan di atas altar sajadah air mata

- Karena aku bunga, akan kuharumkan setiap tarikan nafasmu, kubelitkan tangkai kasihsayang pada setiap ruas rindu.

+ Hawa, karena kau bunga, jadikan aku penyunting tercantikmu.

***

- Menatap parkit yang tengah bercumbu diantara buah dan tangkai, ingatkan pada percintaan kita yang tak pernah tuntas itu.

+ Ah... lebih dari apa, sungguh, persenafasan kau-aku tatkala hening, segala alam menunduk lesu, usai ritual pengantin pada malam permata yang kian purba.

- Tetapi, malam-malam kita tak nyaris sempurna bukan? Dengan sekeping bulan dan bintang yang tak berkedip, saat kau-aku berosmosa dalam larutan ma’rifat.

+ Hawa, taukah kau, jika setiap malam kan jadi sempurna dengan mawar yang terkulai manja dalam lipatan dada, sedang penyesalan tumbuh di punggungku serupa benalu.

- Sungguh, rendezvous yang fana selalu terikat dimensi, tapi bukankah batin kita nirdimensi?

+ Tapi, kenapa kau tak datang sayang, untuk jadi matahari melengkapi bulan dan bintang yang berpijar di langit biru batin ini.

- Ah lebih dari apa, malam nanti, ingin kulengkapi pijar bintang dengan menyusun sejarah dari nafas ke nafas. Kau-aku bersenafas dalam diam yang tak tertahan, di atas ranjang sunyi yang kelam.

+ Kau, cumbui aku sepenuh ma’rifat

- Ah.. lebih dari apa… Ingin kucumbui seluruh isi alam, agar kau mengerti bahwa cinta bukan hanya peluk dan cium. Cinta adalah air pada ceruk batu di dasar sungai waktu.

+ Tetapi, cinta benar-benar serupa laut.

- Cinta serupa laut, ada gulungan ombak kesetiaan, deru gelombang perbedaan, kedalaman biru dan pusaran kesabaran.

+ Ah lebih dari apa… dan saat ini aku mulai terjebak dalam pusaran laut cintamu.

- Bukan.. kita belum sampai pada biru laut, ada yang paling palung di kedalaman batin ini. Cintamu baru serupa sungai yang bercabang memagut-magut muara.

+ Ya.. akulah air mengalir itu. Dan kau adalah sungai yang telah memperdayaku. Dengan lekuk dan gemulai, tubuhmu yang menari, menjelajah hati.

***

- Ah… setiap kali berseteru tak sekali pun aku tega menampar wajah angin.

+ Hawa, setiap berseteru, bantu aku menyapih rindu yang saling menyergap dengan lidah sembilu.

***

Langit tak kuasa menahan bahagia, airmata menggaris-garis awan, bukit dan lembah dalam belantara batin, basah oleh rasa bersalah, sungai-sungai memagut muara, waktu tersalib dikeheningan usia, langkah kaki-kaki di atas tik-tok tanggal yang berjatuhan telah lewat, seperti kalung yang melilit jenjang leher matahari, dan aku mencium aroma tanah air mata.

***

+ Ingin kucuri tongkat Musa, hingga kubelah patah gelombang nafas perawan, hancurkan segala rindu yang membelenggu kelelakianku.

- Ingin kulayarkan perahu Nuh, mengarungi kesabaran, bersenggama dengan nahkoda hasrat yang menggodaku, dengan seragam dan kemudi arah mata angan.

+ Akan kupahat bukit Tursina, menjadi kaligrafi namamu, untuk persembahan di hari ulang tahun matahari, saat malaikat tiupkan cinta dalam jasad rapuh ini.

- Akan kuanggit ikhtisar isi alam, menjadi sajak yang tertunda. Serupa perempuan yang mendaki jejak Rumi.

***

+ Hawa, aku rindu cericit parkit, suflir hijau muda di teras rumahmu. Aku rindu anggrek, kemuning, soka dan semua yang membiru hati ini.

- Lebih dari apa.. Aku jua rindu semut-semut yang ramah menyapaku, saat tengah bersimpuh di serambi batinmu.

+ Sepasang kupu-kupu bersitatap dan saling tersenyum renyah, kemudian melirik, mentertawaiku yang bersusah menahan rindu.

- Aku juga rindu, pada bunga mekar dalam rumpun batin yang nirwatas. Di mana kita sering bertemu untuk melepas hasrat, melucuti keangkuhan, jauh di lubuk keheningan, bercumbu hingga habis semua syarat dan wudu-ku.

+ Jika telah sempurna semua syarat dan wudu-mu. Bergegaslah, tunaikan jamaah fitri. Melengkapi rakaat para nabi. Bercinta dalam puisi.

- Jika telah sempurna semua syarat dan wudu-mu. Bergegaslah, ada sejarah yang belum lengkap aku susun.

+ Aku teringat betapa gerimis mengemudi lamunanku, menelanjangiku dari segala yang rahasia, kau-aku osmosa dalam cekungan sejarah yang tertatah pada garis tangan.

Sejarah kau-aku adalah tragedi osmosa dalam gurat buku puisi.

***

Purbalingga, 2000 – 2005


| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.