14 September 2009

Lokalitas Karakter Bawor

Share

Lokalitas Karakter Bawor 
Oleh Teguh Trianton


Dalam berbagai kontestasi tentang budaya dan karakter wong Banyumas, tokoh Bawor selalu mendapatkan porsi berlebihan. Bawor yang sesungguhnya hanya tokoh ilusi (fiktif), diagung-agungkan sedemikian rupa melampaui realitas yang sebenanarnya. Dengan nalar otak-atik-gatuk, Bawor menduduki tahta puncak, dinobatkan sebagai lambang supremasi karakter wong Banyumas.

Entah siapa yang memulai, sehingga Saya pun pernah latah –ikut-ikutan- memuja Bawor sebagai sublimasi karakter masyarakat Banyumas. Bawor dengan serta merta disepekati sebagai ikon kebanyumasan. Bahkan ikonisitas Bawor justru melampaui tokoh-tokoh epik Banyumas yang nyata ada.

Tulisan ini Saya maksudkan sebagai auto-kritik, koreksi nalar, dan wacana terbuka tentang mitos Bawor sebagai ikon budaya lokal Banyumas.

Asal
Jika dilihat dari asal-usulnya, tokoh Bawor ternyata tidak memiliki hubungan historis dengan masyarakat Banyumas. Asal-usul Bawor tidak jelas. Bawor hanyalah tokoh imajiner atau rekaan dalam kancah pakeliran gagrag Banyumasan.

Secara fisik, tokoh Bawor justru memiliki kemiripan atau identik dengan tokoh rekaan dalam dunia pakeliran di daearah lain. Dalam pakeliran wayang kulit gaya Surakarta-Yogyakarta terdapat tokoh yang secara fisik serupa yang dinamai Bagong. Bagong adalah anak bungsu Kyai Lurah Semar. Kemudian jagat pekeliran di tanah Pasundan (Jawa Barat) terdapat tokoh Cepot atau Kacepot.

Di daerah-daerah tersebut, bentuk fisik tokoh ini juga diartikulasikan sebagai simbolisasi karakter penduduk setempat. Dengan demikian, karakter Bawor sama dengan Bagong, dan Cepot. Artinya karakter wong Banyumas, Sunda dan Surakarta tidak ada bedanya.

Dengan demikian secara subtantif tak ada lagi lokalitas. Bawor sama sekali tidak mewakili karakter lokal Banyumas. Kecuali pada ranah nama atau penyebutan identitas tokoh Bawor yang kemudian lazim disebut Carub Bawor. 

Nah, dari sini Saya menjadi ragu dengan lokalitas karakter Bawor yang diidentikan dengan karakter wong Banyuma. Terlihat sangat aneh, tokoh hasil rekaan dijadikan sebuah ikon entitas masyarakat budaya yang begitu besar. Sementara tokoh-tokoh epik yang memiliki hubungan sejarah dengan akar budaya dan asal-usul terbentuknya entitas Banyumas tidak dijadikan ikon.

Bukankah Banyumas memiliki banyak tokoh-tokoh epik, yang lokalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Raden Joko Kahiman misalnya, atau Jebug Kusuma, Adipati Pasir Luhur dan lain-lain. Atau tokoh terkini seperti Wirya Atmaja, Gatot Subroto hingga Jendral Sudirman.


Kerancuan 
Dipilihnya Bawor sebagai ikon karakter masyarakat Banyumas menunjukan telah terjadi dua kerancuan dalam bernalar. Kerancuan pertama terjadi pada ranah lokalitas. Bawor adalah tokoh dari dunia rekaan. Keberadaan Bawor memiliki intertektualitas sekaligus varian dengan tokoh Cepot dan Bagong, serta beberapa tokoh rekaan dunia pewayangan di daerah lain.

Memilih Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas merupakan kesalahan bernalar. Secara fisik dan karakter yang dicitrakan, ternyata tak ada yang istimewa bagi masyarakat Banyumas. Bawor kehilangan lokalitasnya tatkala harus bersanding dengan dua tokoh lainnya yaitu Bagong dan Cepot.

Kerancuan nalar kedua terjadi pada wilayah pemaknaan dan apresiasi kedirian Bawor. Menurut cerita gotek (tradisi lisan), keberadaan tokoh Bawor di dunia bukan dilahirkan melainkan diciptakan. Bawor merupakan bayangan Sanghyang Ismaya yang turun ke dunia dan menjelma menjadi Semar.

Bawor adalah bayangan Ki Lurah Semar. Bawor diciptakan sebagai teman bagi Semar. Eksistensi Semar sendiri adalah dewa, sehingga Bawor sebagai bayangannya juga merupakan Dewa. Bawor kemudian diakui sebagai anak tertua dari tokoh Semar. Anak kedua dan ketiga adalah Nala Gareng dan Petruk.

Namun dalam masyarakat Banyumas, eksistensi Bawor sebagai bayangan dewa –Semar- lenyap begitu saja. Citra yang melekat pada Bawor justru citra negative. Bawor sebagai simbol kebodohan, kejelataan, nir-etika, suka berbicara kasar dan lain-lain. Padahal –sekali lagi- Bawor adalah –bayangan- dewa.

Kudi
Kemunculan Bawor dalam pentas pakeliran gragag Banyumasan selalu dilengkapi dengan senjata pengandel berupa Kudi. Kudi adalah senjata tradisional khas Banyumas. Pamor Kudi terdiri dari dua bagian yang menyatu. Pamor bagian pangkal berbentuk bulatan, sedangkan pada bagian ujung berbentuk datar dengan ujung landai dan sedikit meruncing. Jika senjata ini dihunus maka akan membentuk lekuk mirip wanita hamil dalam perspektif samping.

Kudi telah jadi bagian dari hidup Bawor, dan masyarakat Banyumas. Namun dalam perjalanan menuju ikon Banyumas, Kudi tak pernah menduduki tempat terhormat sebagai pusaka kebesaran Banyumas yang wajib dijamas dalam periode tertentu.

Nasib Kudi juga tak semujur Gada Rujak Polo, senjata Raden Werkudara yang jadi bagian logo Kabupaten Banyumas. Werkudara juga tokoh ilusi dunia pewayangan. Seperti Bawor, tokoh bergelar Raden ini juga memiliki sifat jujur dan cablaka yang juga merupakan sifat orang Banyumas. 

Bedanya, Werkudara menjadi simbol kebangsawanan karena berasal dari kerajaan, sedang Bawor menjadi simbol kejelataan karena direka-reka menjadi rakyat. Pada Kudi juga telah terjadi kerancuan nalar.

Jika ditarik garis horizontal, maka keberadaan Kudi dihadapan Gada Rujak Polo berada pada posisi yang sejajar. Namun ternyata Gada yang tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat Banyumas terlanjur dipilih sebagai bagian dari lambang pemerintah daerah setempat.

Semoga ketidak-jelasan konsep tentang identitas lokal kebanyumasan ini tidak menjadi sebab lunturnya karakter asli wong Banyumas. 

Sumber : Radar Banyumas, Minggu 13 September 2009

Teguh Trianton,
staf edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas)




| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.