27 Juli 2009

Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna

Share

Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna
Oleh Teguh Trianton

Gedheg pada mulanya memang lebih dikenal sebagai dinding rumah yang terbuat dari bahan dasar bambu. Rumah dengan dinding gedheg hanya dapat dijumpai di desa-desa terpencil di Pulau Jawa. Mereka yang mendirikan rumah dengan dinding gedheg biasanya adalah penduduk yang masuk kategori miskin, terbelakang, dan kurang berpendidikan.

Alhasil, wajar jika gedheg kemudian menjadi tanda sebuah kondisi masyarakat yang marjinal, terbelakang, miskin, dan bodoh. Gedheg menjadi mitos keterbelakangan peradaban. Ini juga wajar, mengingat sebagai produk handmade (buatan tangan), anyaman dinding ini cenderung tidak rata. Jalinan lapisan bambu yang tidak erat akan meninggalkan lubang-lubang kecil pada tiap titik pertemuan anyaman.

Pada saat yang sama, ketidak-sempurnaan ini melahirkan sebuah ungkapan metaforis yang berkonotasi negatif, yaitu "Rai Gedheg". Rai gedheg dalam pandangan Saifur Rohman (Kompas, 20/6) merupakan representasi praktik wacana berpolitik terkini.

Apa yang dijelaskan Saifur Rohman itu sesungguhnya hanya bagian kecil yang bersifat negatif dari kearifan lokal gedheg. Tentu saja itu sah dan tidak keliru. Namun, saat ini memilih gedheg dengan segala kekurangannya sebagai metafora membawa kita pada kondisi pemakaian dan pemaknaan tanda yang sudah lapuk.

Tulisan ini tidak mempersoalkan analogi dan metafora rai gedheg dengan tingkah para politikus menjelang pemilihan presiden dan wakil secara langsung tahun 2009. Yang dipersoalkan adalah pemaknaan atas gedheg yang cenderung stagnan dan tidak kontekstual.

Gedheg adalah dinding dari anyaman bambu yang berkonotasi murahan, gampangan, dan rendah. Dalam proses pemaknaan secara kultural, gedheg menjadi simbol kelas sosial yang marjinal, terbelakang, dan bodoh. Sebuah kelas sosial yang lazim tinggal di desa. Itu dulu!

Kondisi kontemporer justru memaksa kita untuk mereproduksi pemaknaan atas gedheg secara kontekstual. Alasannya sangat sederhana. Saat ini, gedheg sebagai material bangunan telah menduduki posisi yang berbalik dari posisi awal. Jika dulu gedheg dianggap sebagai bahan dinding rumah (ruang) yang murahan, saat ini justru sebaliknya.

Berkelas
Gedheg telah mengalami migrasi. Gedheg tidak lagi menjadi monopoli orang udik yang marjinal dan terbelakang. Gedheg saat ini menjadi material dinding yang sangat familier dan mudah dijumpai di kota-kota. Gedheg menjadi salah satu materi dinding ruang yang favorit, bahkan berkelas.

Di kota sebagai kiblat peradaban masyarakat saat ini begitu mudah dijumpai dinding-dinding ruang atau bangunan yang terbuat dari gedheg dan varian-variannya. Tengoklah dinding-dinding rumah makan khas masakan Jawa, atau Sunda, di pusat-pusat kota. Juga rumah-rumah berarsitektur Jawa klasik bernuansa natural. Di sana, gedheg begitu familier bahkan favorit. Kefavoritan gedheg menyamai kayu sebagai materi dasar bangunan rumah berarsitektur Jawa klasik.

Gedheg dipilih bukan hanya karena keunggulannya yang kuat dan lentur, tetapi karena keunikan ornamen dan motif anyaman yang beragam. Bahan dasar gedheg adalah bambu. Di China dan Jepang, bambu menduduki posisi penting dalam khazanah falsafah hidup masyarakatnya. Di kedua negeri ini bambu juga dibuat anyaman yang sejajar dengan gedheg.

Bambu adalah tanaman jenis rumput yang secara ekologi berfungsi menyimpan air dalam tanah, mencegah longsor, dan mudah hidup. Kelenturan bambu menjadikannya awet dan tahan terhadap benturan serta guncangan. Inilah yang menjadikan falsafah bambu menjadi elan dan vitalitas dalam menjalankan bisnis dan roda kehidupan lainnya.

Makna baru
Migrasi gedheg dari desa ke kota secara material membawa pergeseran makna. Gedheg tidak lagi menjadi tanda atau simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan murahan. Fenomena penggunaan gedheg dengan segala variasi motif anyaman kian menunjukkan pergeseran kelas dan maknanya.

Jika dulu gedheg menjadi mitos kondisi marjinal sebuah entitas masyarakat, kini sebaliknya. Hadirnya gedheg di ruang-ruang publik, seperti caf?, atau tempat wisata di kota, memaksa kita mengubah cara pandang terhadap nilai sebuah gedheg.

Ia tidak lagi marjinal, bodoh, miskin, dan terbelakang. Gedheg kini menjadi penanda kondisi tertinggi emosional dan intelektualitas seseorang. Mereka yang menghargai gedheg adalah kaum terpelajar, kaya secara ekonomi, intelektual, dan emosional. Ia mendapatkan signifikansi yang baru, yang lebih mahal dan mewah.

Gedheg mengalami pergeseran pemaknaan. Kondisi kontemporer membawa gedheg menjadi simbol aristokrat, menghargai budaya, dan kearifan lokal. Orang-orang kaya dan terpelajar memilih gedheg karena ingin dicitrakan sebagai kelompok yang menghargai kesederhanaan dan citra rasa yang unik serta klasik.

Di tengah gempuran modernisasi dan pencanggihan teknologi, mempertahankan gedheg sebagai kearifan lokal membutuhkan kondisi emosional yang paripurna. Nah di sini, gedheg tak lagi menjadi simbol kebodohan dan murahan, melainkan kecerdasan emosi dan intelektualitas dalam memandang sebuah kesederhanaan.

Pada saat yang sama, bambu sebagai bahan dasar gedheg juga mengalami pergeseran nilai, baik secara ekonomis maupun intelektual. Harga dinding bambu di kota justru melebihi harga dinding dengan bahan batu bata dan semen. Untuk menghadirkan bambu di kota membutuhkan ongkos yang jauh lebih mahal dari bahan lain. Secara intelektual, naiknya permintaan penggunaan bambu mendorong lahirnya manajemen ekosistem agar tidak merusak keseimbangan alam.

Forum Kompas Jateng-Jogja , 23 Juli 2009


Teguh Trianton
Aktif di Beranda Budaya

Banyumas, Jawa Tengah


| More

2 Comments:

Anonim said...

umahku be esih nganggo gedheg

mas tar said...

ini alamat blogku. Hari gini guru belum punya blog? wah katro! itu pesan agupena. Jere sms e

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.