16 Agustus 2008

Problem Pengajaran Sastra

Share

Problem Pengajaran Sastra di SMK
Oleh : Teguh Trianton *)


Hubungan bahasa dengan Sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata sekeping uang logam. Keduanya saling ketergantungan, tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya Prodopo (1995). Bahasa sendiri tidaklah netral, sebab sebelum jadi anasir dari bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti tersendiri (meaning) berdasarkan konvensi bahasa tinggkat pertama melalui pembacaan heuristik. (Pradopo, 1995).

Sumbangan sastra sendiri terhadap khasanah bahasa Indoneisa tidak perlu diragukan lagi. Konvensi-konvensi sastra dengan sendirinya memberikan sokongan yang besar bagi perkembangan bahasa.

Dalam pendidikan, nilai estetik dan putik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat John F Kenedy (JFK) begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini mengatakan, ‘Ketika Politik Bengkok Bengkok Sastra akan Meluruskanya’.

Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Adjidharma (SGA) kemudian mengafirmasi pernyataan JFK dengan membuat adagium ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam maka Sastralah yang akan Berbicara’. SGA tidak main-main dengan statementnya, kumpulan Cerpan ‘Saksi Mata’ terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah ‘saksinya’. Seluruh cerpen dalam kumpulan ini merupakan ‘pembocoran’ fakta peristiwa kekerasan yang terjadi di Dili - Timor Lorosai saat itu.

Dalam banyak kesempatan sastra menjadi bahasan yang tak pernah kering, mulai ihwal pembabakan dalam sejarahnya, rendahnya kritik dan apresiasi, hingga polemik seputar tema serta mainstream arah pergerakan perkembangan sastra mutakhir.

Begitu pentingnya sastra, hingga perguruan tinggi membuka fakultas sastra. Di tiap daerah berdiri komunitas-komunitas sastra, kampus menjadi kantong-kantong ‘basis’ kehidupan sastra. Bahkan sistem pendidikan kita memasukan sastra sebagai muatan pelajaran dalam kurikulum. Meski masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun setidaknya sastra diajarkan pada siswa di sekolah.

Ironis, di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sastra yang notabene bagian tak terpisahkan dari bahasa dan bangunan pendidikan budaya serta budi pekerti dan karakter ini, ternyata sama sekali tidak mendapatkan porsi. Tentu saja ini merupakan problem serius yang harus segera di selesaikan, jika pendidikan memang hendak diarahkan untuk membangun karakter bangsa dengan memanusiakan manusia.

Mengingat dalam kurikulum SMK tahun 2004 yang saat ini masih dianut, mata pelajaran Bahasa Indonesia sepenuhnya diarahkan pada satu tujuan yaitu penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar untuk tujuan komunikasi di dunia kerja.

Dari tiga tingkat penguasaan komunikasi; standar Semenjana, Madia dan Unggul, pengajaran sastra hanya mendapat setengah dari sub kompetensi dasar yang harus dikuasai pada level Unggul, yaitu pada kompetensi dasar apresiasi teks seni.

Padahal secara keseluruhan dalam tiga standar kompetensi tersebut terdapat 32 kompetensi dasar yang harus dikuasai yang merupakan sub pokok bahasan. Masing terdiri atas 12 kompetensi dasar tingkat Semenjana, 14 kompetensi dasar di tingkat Madia, dan 5 kompetensi dasar di tingkat Unggul.

Oleh karena itu, mutlak diupayakan amandemen kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia di SMK, dengan memberikan porsi lebih besar (baca: menambah) untuk materi sastra Indonesia.


*)Teguh Trianton, peminat sastra, staf pengajar Bahasa Indonesia SMK Widya Manggala Purbalingga.

| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.