01 Agustus 2008

Dewan Kesenian dan Jejak Sastra Banyumas

Share

Dewan Kesenian dan Jejak Sastra Banyumas

Oleh Teguh Trianton


SUATU ketika, iseng-iseng saya memasukan kata kunci ‘’sastra Banyumas’’ pada mesin pencari yang disediakan provider di internet. Tujuannya untuk mencari jejak dan mengetahui perkembangan sastra di daerah ini. Saya berharap, dengan bantuan mesin pencari ini, akan ditemukan referensi tentang karya sastra, sastrawan, dan polemik kontemporer tentang kehidupan bersastra di Banyumas.

Namun saya harus kecewa, mengingat tak ada satupun situs atau blog yang dengan rinci menyajikan informasi yang saya cari. Bahkan pada situs-situs resmi milik pemerintah daerah seperti www.banyumas@go.id, www.cilacapkab@go.id, dan www.purbalinggakab@go.id, juga tidak ditemukan satupun referensi tentang apa yang saya cari.


Padahal, konon, gerbong sastra Banyumas dipenuhi penumpang-penumpang kelas berat, yang menjadi kanon sastra di zamannya. Sebut saja Bambang Set, Edhi Romadlon, Surya Esa, Haryono Soekiran, Basuki Balasikh, Nanang Anna Noor, Herman Affandi, Dharmadi, Mas’ut, Badrudin Emce, dan lain-lain. Beberapa nama diantaranya berhenti berproses kreatif setelah mengalamai masa kejayaan pada era 1980-1990an.


Lalu, bagaimana sastrawan muda di Banyumas harus mencari referensi jejak kepenyairan atau kehidupan literrer sang senior, jika masa-masa puncak itu hanya dapat dijelaskan dalam tradisi keberlisanan? Apa yang harus dilakukan guru-guru sastra di sekolah, jika hendak memasukkan wacana kesusastraan lokal sebagai materi pembanding dengan perkembangan sastra nasional kontemporer?


Sosok Ahmad Tohari


Pertanyaan ini otomatis akan sambung-kait dengan pertanyaan berikutnya. Misal, masih adakah geliat atau sekedar desah nafas kehidupan bersastra di Banyumas. Bagaimana iklim bersastra di langit budaya Banyumas? Masih mendungkah? Apa saja yang telah dilakukan Dewan Kesenian dalam rangka menumbuhkan ekologi kebudayaan —kegiatan bersastra— di Banyumas? Dan, pertanyaan-pertanyaan sejenis dengan varian yang beragam pun akan terus bermunculan.


Beruntung, Banyumas masih memiliki Ahmad Tohari (AT), yang jejak langkahnya begitu mudah kita dapatkan. Tentu saja karena dia konsisten dengan dunia kepenulisannya. Bukan hanya dalam bentuk fiksi, tapi pemikiran-pemikiran AT tentang kebudayaan juga kerap muncul dalam bentuk esai di berbagai media. Sehingga mesin pencari tersebut tak perlu bingung mereferensikan AT untuk sekadar memuaskan pencarian saya. Meski telah dikenal hingga ke luar negeri, sastrawan dan budayawan mumpuni Banyumas itu tetap sederhana dan low profile. Inilah sesungguhnya yang menarik dari fenomena ketokohan AT. Dengan rendah hati, dia begitu ‘’berani’’ tampil low profile. Saya sebut berani, mengingat Banyumas jarang memiliki seniman (sastrawan) mapan yang begitu telaten dan mau menghargai sastrawan muda yang tengah belajar bersastra.


Sesungguhnya, ihwal pergulatan sastrawan mapan Banyumas tak pernah kering dari polemik. Bahkan tema ini seperti menjadi menu utama dalam setiap momen diskusi, baik dalam wadah gendhu rasa maupun aktivitas keberlisanan lainnya. Sayangnya, polemik ini selalu berakhir pada kebisuan dan kebuntuan. Tidak ada tindak lanjut yang konkret dalam bentuk tulisan, apalagi lahirnya konsep-konsep baru yang menggairahkan kehidupan bersastra.


Polemik yang terjadi tidak pernah cerdas. Diskursus yang terbentuk bukan pertukaran wacana atau ide cemerlang untuk kehidupan sastra kontemporer. Acapkali diskursus hanya jadi ajang ‘’pembabtisan’’ bagi sastrawan muda, agar selalu menghormati yang tua.


Tentu semua itu terjadi tanpa elaborasi dan inisisasi terarah. Sehingga yang ada cuma penegasan demarkasi dan dikotomi tua-muda, atau senior-yunior. Yang muda harus memuja yang tua, yang sulit dicari jejaknya baik dulu dan sekarang. Yang senior merasa tabu untuk mengapresiasi karya yunior.


Padahal, di sisi lain, yang muda sebenarnya bingung mencari referensi jejak kehidupan bersastra para seniornya. Sebab tradisi keberaksaraan (literracy) di Banyumas memang masih rendah. Minimnya budaya kritik yang sehat, konon, menjadi biang keladinya. Ini juga terjadi akibat masih kuatnya tradisi grendhengan di belakang panggung yang dilakukan secara lisan.


Dewan Kesenian


Sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah, Dewan Kesenian diberi kewenangan mengelola potensi seni-budaya dalam satu wilayah geopolitik tertentu (kota, kabupaten, provinsi) agar tidak punah. Tugas dan kewenangan dewan ini meliputi invest yaitu menanam, memupuk, menumbuhkan potensi seni; support (mendorong pertumbuhan potensi seni); dan build and develop atau membangun dan mengembangkan potensi seni.


Dewan Kesenian juga bertugas mengadakan riset tentang potensi seni yang yang belum tergali atau yang telah ada dalam rangka pengembangan. Dengan dukungan anggaran yang besar, yang dialokasikan melalui APBD/APBN, Dewan Kesenian berkewajiban memfasilitasi dan mempromosikan potensi-potensi tersebut. Sebagai lembaga pemerintah, ia juga berperan sebagai advokat yang berkewajiban mengadvokasi atau membantu mediasi dalam setiap penyelesaian sengketa bidang kesenian.


Dengan seabrek tugas dan tanggungjawab tersebut, sudah sepantasnya jika Dewan Kesenian diisi orang-orang yang kompeten dalam bidang seni-budaya. Saya tidak berniat menilai kinerja Dewan Kesenian, tetapi hanya ingin mewacanakan, bahwa selain intens dalam hajatan budaya yang lebih bersifat seremonial dan laku ‘’dijual’’, Dewan Kesenian mestinya juga menggarap atau setidaknya memperhatikan kehidupan sastra kontemporer di Banyumas.


Sudah saatnya Dewan Kesenian menyusun leksikon sastra Banyumas, beserta pernak-pernik dan polemik yang terjadi. Bukan hanya untuk kepentingan dokumentasi, tapi juga sebagai referensi untuk menambah khazanah kesusastraan di dunia pendidikan. Atau setidaknya untuk membukukan nama dan sejarah mereka yang dulu sempat berjaya.


Secara kultural, wilayah Banyumas terbilang cukup luas, mencakup Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, serta Banjarnegara. Kantong-kantong sastra di wilayah itu dengan sendirinya menjadi basis kehidupan bersastra di Banyumas. Di sisi lain, menjamurnya komunitas sastra kampus juga menjadi fenomena menarik, yang sepertinya tak pernah digarap Dewan Kesenian di empat kabupaten tersebut.


Atau, jangan-jangan selama ini Dewan Kesenian hanya terlena dengan gegap gempita hajatan budaya yang lebih sering jadi acara seremonial tahunan, ketimbang upaya pelestarian seni dan budaya yang sebenarnya?


(Suara Merdeka, Kamis 31 Juli 2008)


Teguh Trianton, peminat sastra, tinggal di Purbalingga.




| More

0 Comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.