16 Maret 2016

Robohnya Soetedja Kami

Share

Robohnya Soetedja Kami

Teguh Trianton

Di tepinya sungai Serayu/
waktu fajar menyingsing/

Beberapa hari yang lalu, saya melakukan perjalan dari Jogjakarta ke Purwokerto dengan menggunakan moda transportasi kereta api. Dua baris lirik lagu di atas saya dengar dalam bentuk insrument saat kereta api memasuki dan berhenti di stasiun Kroya. Kemudian instrument yang sama saya dengar lagi saat kereta berhenti di stasiun Notog, dan berakhir di stasiun Purwokerto. Instrumen tersebut merupakan penggalan lagu “Di Tepi Sungai Serayu” karya kompenis legendaris kelahiran Banyumas R. Soetedja Poerwodibroto. Mendengar instrumen tersebut, sebagai orang Banyumas, saya merasa bangga bahwa Banyumas memiliki seorang kompenis legendaris.

Turun dari stasiun, perjalanan saya lanjutkan menggunakan ojek menuju arah timur, Pasar Manis. Ada suasana berbeda, saat ojek yang saya tumpangi memasuki pertigaan Jalan Gatot Soebroto. Saya melihat ada beberapa petugas keamanan tengah berjaga di tepi ruas jalan tersebut. Mereka adalah personil yang bertugas membuat kawasan tersebut steril, dalam rangka kunjungan Presiden RI yang akan meresmikan perluasan Pasar Manis. Saya, sebagai orang Banyumas pun merasa bangga, lantaran Joko Widodo, Presiden RI menyediakan waktu berkunjung.

Ojek yang saya tumpangi melambat. Saya melihat ke sebelah kiri ruas jalan. Rasa bangga saya, pelan-pelan tertukar dengan haru dan sedih. Di situ, dulu berdiri Gedung Kesenian Soetedja (GKS). Namun saat ini gedung  tersebut telah rata dengan tanah. Di tempat itulah, Presiden akan melakukan ritual simbolis, memasang batu pertama yang menandai pembangunan perluasan pasar (30/06/2015).

| More

Puisi, Fakta, dan Historiografi

Share

Puisi, Fakta, dan Historiografi
oleh
Teguh Trianton


Puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah
(Plato)

Jika puisi lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah, maka boleh jadi puisi-puisi -yang termaktub dalam buku antologi- ini akan menemukan rujukan nilai kebenarannya. Nilai kebenaran yang menurut Plato lebih presisi ketimbang nilai kebenaran yang digali dari fakta sejarah.

Nanti dulu, meminjam ungkapan Plato, tulisan ini adalah upaya saya mengakrabi setiap apa yang ditulis dalam buku puisi karya sepuluh penyair yang tergabung dalam Komunitas Penyair Institut (KPI). Saya yakin, apa yang ditulis sebagai sajak atau puisi telah diniatkan sebagai sajak atau sebagai puisi oleh penyairnya. Pun, apa yang telah ditulis oleh sepuluh penyair yang memilih melakoni proses kreatifnya berbasis sastra kampus ini. Mereka adalah Muhammad Musyaffa, Irfan M. Nugroho, Sultoni Achmad, Indra KS, Ayu Estika, Hendrik Efriadi, Otih Kumala, Eri Setiawan, Hani Kurniasih, dan Aminah Bee.

Sebagai pembaca sekaligus penikmat seni berbahasa, saya memilih berdiri di luar perdebatan, di luar ketegangan, di luar riuh rendah diskusi tentang apakah puisi atau bukan puisi yang terkumpul dalam buku ini. Saya memahami puisi, secara sederhana sebagai salah satu bentuk seni berbahasa. Seni berbahasa saya artikan tentang bagaimana sesorang mampu mendayagunakan kata melalui diksi yang tepat, dan cermat untuk mengungkap kebenaran dengan jalannya yang ekspresif, estetik sehingga terdapat kelonggaran jarak, ruang dan waktu tempuh untuk memberikan makna pada yang telah ditulis.

| More

Berkiblat Pada Cinta

Share

Berkiblat Pada Cinta *)
Oleh Teguh Trianton **)

Kejahatan terkejam yang ada pada diri manusia adalah cinta,
lantaran kau, aku dan waktu pernah dibuat menangis karenanya,
tapi aku justru hanya dapat hidup dengan dilukai,
dan lukaku adalah kau.

Seperti puisi, cinta adalah seni. Cinta merupakan hakekat yang paling inti dari hidup dan kehidupan. Tanpa cinta, maka manusia tak lagi lengkap syaratnya untuk menduduki kapasistas kemanusiaan. Cinta adalah api dan air sekaligus. Cinta menjadi nyala, penerang dalam kegelapan, tapi ia juga dapat berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan, atau bahkan api yang menyala dan membakar. Tapi, dengan cinta itu pula, nyala akan dapat dipadamkan, panas menjadi dingin, keriuhan menjadi kedamaian, lantaran cinta juga air, air kehidupan.

Hidup adalah seni, maka cinta adalah seni (Erich Fromm). Jika untuk menulis puisi dibutuhkan dua laku; mengetahui dan mempraktekan, maka untuk perkara cinta, juga dibutuhkan laku; belajar mengetaui, merasakan dan melaksanakn cinta. Belajar mengetahui cinta merupakan aktivitas intelektual, belajar merasakan cinta merupakan aktivitas afektif yang mengedepankan fungsi emosi, kesadaran diri dalam kontrol pengetahuan. Sedangkan belajar melakukan cinta adalah aktivitas mewujudkan cinta dalam tindakan, atau amalan.

Cinta menjadi perkara terbesar dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya persoalan cinta dalam konteks apapun, tak pernah kering diperbincangkan. Cinta menjadi inspirasi terbesar bagi para penulis sastra. Dalah khazanah sastra, cinta dikonstruksi dan direproduksi menjadi teks, cinta dikonstruksi menjadi persoalan sekaligus penyelesaian.

| More
Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.