Robohnya Soetedja Kami
Teguh Trianton
Di tepinya sungai Serayu/
waktu fajar menyingsing/
Beberapa
hari yang lalu, saya melakukan perjalan dari Jogjakarta ke Purwokerto dengan
menggunakan moda transportasi kereta api. Dua baris lirik lagu di atas saya
dengar dalam bentuk insrument saat kereta api memasuki dan berhenti di stasiun
Kroya. Kemudian instrument yang sama saya dengar lagi saat kereta berhenti di
stasiun Notog, dan berakhir di stasiun Purwokerto. Instrumen tersebut merupakan
penggalan lagu “Di Tepi Sungai Serayu” karya kompenis legendaris kelahiran
Banyumas R. Soetedja Poerwodibroto. Mendengar instrumen tersebut, sebagai orang
Banyumas, saya merasa bangga bahwa Banyumas memiliki seorang kompenis
legendaris.
Turun dari
stasiun, perjalanan saya lanjutkan menggunakan ojek menuju arah timur, Pasar
Manis. Ada suasana berbeda, saat ojek yang saya tumpangi memasuki pertigaan
Jalan Gatot Soebroto. Saya melihat ada beberapa petugas keamanan tengah berjaga
di tepi ruas jalan tersebut. Mereka adalah personil yang bertugas membuat
kawasan tersebut steril, dalam rangka kunjungan Presiden RI yang akan meresmikan
perluasan Pasar Manis. Saya, sebagai orang Banyumas pun merasa bangga, lantaran
Joko Widodo, Presiden RI menyediakan waktu berkunjung.
Ojek yang
saya tumpangi melambat. Saya melihat ke sebelah kiri ruas jalan. Rasa bangga
saya, pelan-pelan tertukar dengan haru dan sedih. Di situ, dulu berdiri Gedung Kesenian
Soetedja (GKS). Namun saat ini gedung tersebut
telah rata dengan tanah. Di tempat itulah, Presiden akan melakukan ritual
simbolis, memasang batu pertama yang menandai pembangunan perluasan pasar
(30/06/2015).